Sabtu, 27 Desember 2008

Senyawa dari Bakteri Untuk Pengendalian DBD

Bahan-bahan kimia dari bakteri yang mendorong nyamuk-nyamuk betina untuk meletakkan telur bisa membantu menghambat penyebaran penyakit-penyakit yang disebabkan nyamuk seperti DBD dan demam kuning, menurut peneliti di Amerika Serikat.

Coby Schal dan rekan-rekannya di North Carolina State University telah menunjukkan bahwa nyamuk betina dari spesies Aedes aegypti merespon terhadap asam-asam lemak sederhana, seperti asam tetradekanoat, dan ester yang terdapat dalam dinding sel bakteri. Peneliti-peneliti ini berencana untuk menggunakan stimulan-stimulan tersebut dalam merangsang nyamuk betina untuk menghabiskan lebih banyak waktu pada air yang telah dicampur dengan insektisida atau agen biologis pengendali serangga.

"Hal menarik dari senyawa yang sedang kami teliti ini adalah dapat bekerja bukan hanya pada nyamuk betina tetapi juga nyamuk betina yang sedang mengandung," kata Schal. Nyamuk betina yang hamil adalah target kunci untuk program-program pengendalian penyakit karena, berbeda dengan nyamuk jantan, mereka menghisap darah sehingga bisa membawa dan menularkan penyakit.

Seekor nyamuk Aedes aegypti betina sedang meletakkan telur dalam air yang dicampur dengan asam tetradekanoat, sebuah stimulan untuk bertelur.

Tim Schal mengidentifikasi senyawa-senyawa yang menstimulasi peletakan telur dengan memfraksionasi ekstrak-ekstrak dari bakteri yang ditemukan dalam air. Dengan menyiapkan dua gelas untuk dipilih oleh nyamuk - yang satu mengandung senyawa-senyawa dari bakteri dan yang lainnya hanya mengandung air - mereka mampu mengidentifikasi stimulan yang paling potensial.

Senyawa-senyawa ini bisa membantu nyamuk betina dalam memutuskan apakah sebuah lokasi mengandung cukup bakteri yang tepat untuk makanan keturunannya kelak, kata Schal. Nyamuk-nyamuk betina kemungkinan mendeteksi bahan-bahan kimia melalui kemoreseptor pada kakinya, atau pada organ-organ peletak telur yang disebut ovipositor. "Berdasarkan pengamatan terhadap perilaku nyamuk betina, dari cara mereka bergerak-gerak di air, tampak bahwa ovipositor kemungkinan terlibat," papar Schal.

Senyawa-senyawa ini terdapat dalam berbagai makanan, termasuk minyak seperti minyak kelapa. "Senyawa-senyawa ini adalah senyawa yang sangat aman, sehingga tidak akan berbahaya bagi manusia, hewan piaraan atau lingkungan jika kita memasangnya pada perangkap serangga," kata Schal.

Michael Birkett, dari Rothansted Center for Sustainable Pest and Disease Management, mengatakan penelitian ini menunjukkan potensi untuk mengembangkan strategi-strategi pengendalian penyakit. Tetapi dia menekankan bahwa strategi-strategi seperti ini akan tergantung pada formulasi seimbang dari senyawa-senyawa stimulan tersebut. "Dalam penelitian ini sangat jelas bahwa jika dosis atau campuran senyawa tidak tepat, maka aktivitasnya akan hilang," ungkapnya.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=158)

Stronsium Memperkuat Tulang Tiruan

Stronsium menawarkan sebuah pendekatan baru untuk penggantian tulang, sebuah temuan baru oleh peneliti-peneliti di Perancis.

Tim peneliti yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu ini menggunakan teknik-teknik sol-gel untuk membuat keramik kalsium fosfat yang mengandung stronsium. Jean-Marie Nedelec dari Blaise Pascal University di Aubiere, pemimpin tim penelitian ini, mengatakan bahwa "sifat-sifat anti-inflammatory yang ditemukan untuk material ini dan efek anti-osteoporosis yang telah diketahui dari stronsium sangat menarik dan menjanjikan". Dia menyebutkan bahwa penggunaannya yang potensial bisa mencakup pengaplikasian biomedik seperti penggantian tulang, perancah untuk teknik jaringan, dan prostesa lapis seperti penggantian pinggul untuk meningkatkan kepaduan dengan tulang.

Keramik baru bisa terbukti bermanfaat sebagai tulang buatan.

Kalsium fosfat membentuk beberapa fase kristal berbeda; yang paling umum dalam tulang dikenal sebagai whitlockit beta-Ca3(PO4)2 dan hidroksipatit Ca5(PO4)3OH. Material-material berbasis hidroksipatit sebelumnya telah digunakan dalam aplikasi medis. Telah diketahui bahwa ion-ion stronsium bisa menggantikan kalsium dalam tulang, dan pemakaian suplemen stronsium lewat mulut bisa meningkatkan pembentukan dan kepadatan tulang, dan menjadi perawatan efektif untuk osteoporosis.

Material-material yang didoping dengan stronsium, seperti yang ditemukan oleh tim peneliti ini, memiliki proporsi whitlockit yang lebih tinggi dan sebuah bentuk amorf dibanding kalsium fosfat yang tidak didoping. Material-material ini lebih mudah larut dibanding hidroksipatit dan, jika ditempatkan dalam sebuah medium yang menyerupai plasma darah manusia, melepaskan stronsium dengan kadar yang diketahui memiliki efek anti-osteoporosis. Material yang didoping tersebut juga mengurangi respon inflammatory sebuah kultur sel dibanding dengan sampel yang tidak didoping.

Nedelec tertarik di bidang ini berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai kimia sol-gel. Metode sol-gel melibatkan pengendapan sebuah gel, diikuti dengan pengeringan dan pengolahan membentuk sebuah keramik. Material ini memiliki banyak kelebihan seperti pengolahan bersuhu rendah, kemurnian dan kehomogenan yang tinggi, pengendalian terhadap porositas, dan mudahnya merubah-rubah bentuk material.

Nedelec mengatakan bahwa penelitian selanjutnya juga akan mengkaji penggantian kation lain yang aktif biologis dalam kalsium fosfat, dan meneliti secara in vivo pengaplikasiannya yang potensial.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=159)

Air Ditemukan Dalam Batuan Bulan

Peneliti di Amerika Serikat telah menemukan air dalam batuan yang berasal dari Bulan. Temuan ini langsung menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang asal usul Bulan. Temuan ini diketahui dengan menganalisis manik-manik kaca berukuran kecil dari pasir Bulan yang diambil oleh astronot-astronot misi Apollo.

Teori ilmiah yang banyak diyakini orang sekarang ini untuk pembentukan bulan adalah teori "giant impact" (tubrukan besar). Teori ini menyebutkan bahwa ada objek raksasa menabrak Bumi yang belum lama terbentuk, menyalurkan magma cair dalam jumlah yang sangat banyak ke dalam lintasan. Piringan magma ini perlahan-lahan menyatu dan membeku menjadi Bulan seperti sekarang ini. Tetapi karena bulan terlalu kecil untuk menyimpan atmosfer, maka semua cairan atau gas volatil, seperti air, dianggap telah habis menguap dan lepas ke ruang angkasa.

Kini sebuah tim di Universitas Brown, Rhode Island, US, telah membuat teori ini mulai diragukan dengan ditemukannya air dalam manik-manik titanium yang tersebar di seluruh permukaan Bulan. Manik-manik ini adalah hasil dari erupsi volkanis lunar yang sangat besar, yang terjadi milyaran tahun yang lalu.

Kumpulan manik-manik kaca volkanis hijau dari tempat pendaratan Apollo 15

Yang lebih penting lagi, manik-manik ini terbuat dari material yang berasal dari dalam perut Bulan sehingga tidak ada kemungkinan bahwa air ini bisa berasal dari sumber luar seperti komet yang menabrak permukaan bulan.

Dengan menggunakan spektrometri massa ion sekunder presisi (SIMS), tim ini dikejutkan dengan temuan bahwa manik-manik tersebut mengandung sekitar 45 bagian per juta air. Dengan memodelkan dinamika-dinamika erupsi volkanis dan laju pendinginan, mereka menghitung bahwa sekitar 95 persen air hilang selama aktivitas volkanis yang membawa manik-manik tersebut ke permukaan. Ini menghasilkan dugaan bahwa lahar dalam perut Bulan mengandung air sampai 745 bagian per juta - hampir sama dengan yang terdapat pada lapisan terluar kulit bumi.

"Model yang kami buat ini tidak sempurna - jadi walaupun kami tahu disana ada air, kami tidak bisa pastikan berapa banyak jumlahnya," kata Alberto Saal, pimpinan penelitian ini. Meskipun demikian, Saal menambahkan, keberadaan air ini harus dipertimbangkan dalam penyusunan teori-teori tentang pembentukan Bulan di masa mendatang.

"Ini merupakan hasil yang cukup mengejutkan dan penting," kada David Stevenson, seorang ahli evolusi planet di Institut Teknologi California. "Air mengurangi titik leleh batuan, sehingga air bisa merubah evolusi sebuah benda seperti Bulan."

"Tapi satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa bulan kemungkinan heterogen," tambah Stevenson. "Ada kemungkinan bahwa selama terjadinya tubrukan raksasa beberapa daerah berair dapat terjebak. Penemuan air pada satu tempat tidak berarti bahwa bagian bulan yang lain juga mengandung air."

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=160)

Manusia Bisa Mengindera Cahaya Melalui Kulit

Sebuah tim yang terdiri dari peneliti Eropa dan Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa salah satu tipe molekul protein yang ditemukan pada banyak jaringan manusia bisa merespon terhadap cahaya. Temuan ini menimbulkan kemungkinan menarik bahwa manusia mampu mendeteksi cahaya melalui kulit seperti mata.

Margaret Ahmad dari Universitas Paris VI, Prancis, dan rekan-rekannya memfokuskan penelitian pada segolongan protein fotoreseptor yang disebut kriptokrom, yang diaktivasi oleh cahaya pada tanaman dan memicu beberapa respon fisiologis, seperti pematangan biji dan pembukaan daun. Kriptokrom juga ditemukan pada serangga dan mamalia, termasuk manusia. Tetapi sampai sekarang belum ada yang mengetahui apakah kriptokrom manusia bereaksi dengan cahaya.

Kriptokrom dari tanaman Arabidopsis thaliana. Protein serupa pada manusia juga merespon terhadap cahaya.

Ahmad dan timnya menggunakan teknik spektroskopi untuk menunjukkan bahwa pigmen flavin adalah komponen fotoreaktif dari kriptokrom manusia, seperti pada tanaman, sehingga akan teroksidasi pada keadaan istirahat, dan tereduksi pada saat merespon terhadap cahaya biru.

Para peneliti ini kemudian menguji respon kriptokrom manusia terhadap cahaya pada seekor lalat buah Drosophila yang dihasilkan dengan rekayasa genetika. Mereka menunjukkan bahwa pada sebuah organisme hidup protein ini juga berubah ketika terpapar terhadap cahaya. "Hasil ini memberikan bukti pertama tentang bagaimana kriptokrom tipe-hewan diaktivasi oleh cahaya pada sel-sel hidup," kata tim peneliti ini.

Charalambos Kyriacou, seorang ahli dalam bidang biological clock (jam biologis) di Universitas Leichester, Inggris, tidak begitu yakin dalam menghubungkan peranan penginderaan cahaya dengan kriptokrom pada sel-sel non-visual manusia. "Pada manusia kita tahu bahwa orang buta tidak memiliki jam biologis sama sekali, sehingga semua bukti yang ada sejauh ini mengatakan bahwa kita hanya dapat mengindera cahaya melalui mata kita," kata Kyriacou, yang menunjukkan bahwa pada lalat buah molekul kriptokrom dalam sel-sel saraf bertindak sebagai reseptor cahaya sedangkan molekul-molekul identik pada jaringan lain tidak berfungsi sebagai reseptor cahaya. Ada kemungkinan bahwa sifat-sifat penginderaan cahaya dari molekul ini tertekan tergantung pada lingkungan seluler dari kriptokrom, papar Kyriacou.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=161)

Berilium: Kawan atau Lawan?

Berilium banyak digunakan dalam teknologi-teknologi yang ada sekarang ini, mulai dari mobil dan komputer sampai alat prostetik gigi. Popularitas berilium terkait dengan sifat-sifatnya yang unik antara lain ringan, enam kali lebih keras dari baja, memiliki titik leleh tinggi (1285C) dan kapasitas penyerapan panas, dan tidak bersifat magnetik serta tahan korosi. Berilium juga digunakan untuk tenaga nuklir dan aplikasi senjata. Pada tahun 2000 Amerika Serikat menggunakan 390 ton berilium, dengan total biaya yang diperkirakan $140 juta.

Akan tetapi, logam ini memiliki efek kesehatan negatif: pada individu yang rentan, keterpaparan terhadap berilium menyebabkan sebuah penyakit paru-paru yang disebut penyakit berilium kronis (CBD) - sebuah kondisi yang melemahkan, tidak dapat disembuhkan, dan sering fatal. Dengan meluasnya penggunaan berilium, efek negatif ini sangat memerlukan pemahaman yang lebih baik tentang sifat-sifat kimia berilium pada kondisi-kondisi biologis dan bagaimana hal ini menyebabkan penyakit dan penyembuhannya serta terapi yang potensial.

Sebuah antigen berilium (tengah) terikat ke molekul HLA pada sebuah sel penampak antigen dan dibawa ke sel T, sehingga memicu respon kekebalan

Diduga bahwa respon kekebalan terhadap berilium terpicu ketika unsur yang dihirup tanpa sadar dideteksi oleh sel-sel penampak antigen (APC, lihat gambar). Spesies berilium yang tidak diketahui berfungsi sebagai antigen yang terikat ke molekul HLA (antigen leukosit manusia) pada permukaan APC. Antigen berilium selanjutnya dibawa ke sel T (sel darah putih dengan peranan utama dalam respon kekebalan). Penelitian sekitar 6 tahun yang lalu di Los Alamos menghasilkan gambaran yang lengkap dari spesiasi berilium pada kondisi-kondisi biologis, termasuk interaksinya dengan protein dan konsekuensi imunologi yang ditimbulkan.

Melalui penelitian beberapa kompleks molekul kecil dari berilium, ditemukan bahwa berilium memiliki kecenderungan tinggi untuk menggantikan atom-atom hidrogen pada ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan-ikatan ini, yang sering terbentuk antara asam-asam amino yang mengandung gugus karboksilat dan alkohol, membantu memberikan kerangka-dasar yang mendukung struktur dan fungsi protein. Dengan memperluas model ini ke sistem biologis yang nyata, terlihat bahwa berilium menggantikan keseluruhan atom ikatan hidrogen kuat (12 atom) pada transferrin, sebuah protein transport zat besi yang ditemukan dalam plasma darah. Ini merupakan sebuah jalur potensial bagi berilium untuk memasuki sel dengan reseptor-reseptor transferrin. Penelitian-penelitian ini membuka paradigma baru untuk pengikatan berilium dalam sistem biologis yang sebenarnya.

Terkait dengan kecenderungannya untuk menggantikan atom-atom dalam ikatan hidrogen, berilium diketahui membentuk kelompok-kelompok polimetalik dengan gugus-gugus karboksilat. Sehingga telah diduga bahwa berilium juga akan membentuk kelompok-kelompok pada protein yang memiliki banyak residu karboksilat di sekitarnya. Sebuah temuan yang menarik adalah bahwa molekul HLA dari pasien CBD mengandung jumlah residu karboksilat yang lebih besar dibanding molekul HLA dari orang yang tidak menderita CBD. Dan penelitian dengan NMR 9Be menunjukkan kelompok atom berilium yang dijembatani karboksilat itu sebagai sebuah gambaran struktural menyeluruh dari antigen (lihat gambar).

Penelitian dengan menggunakan microarray telah memberikan wawasan lain tentang mekanisme-mekanisme yang mengatur respon kekebalan berilium. Gen-gen perlekatan sel dan chemokin (protein-protein kecil yang memediasi migrasi sel) diregulasi dengan baik dalam sel-sel yang diperlakukan dengan berilium. Ini menunjukkan sebuah mekanisme yang melibatkan gradien-gradien chemokin untuk menarik sel-sel imun ke tempat inflamasi. Disamping itu, sel-sel imun yang diperlakukan dengan berilium menunjukkan pensinyalan intraseluler yang berubah dan pelepasan sitokin ketika merespon terhadap lipopolisakarida - sebuah toksin yang ditemukan dalam membran sel terluar bakteri. Ini menunjukkan bahwa keterpaparan lebih dulu terhadap berilium bisa merubah respon kekebalan host terhadap infeksi bakteri selanjutnya. Implikasi bahwa molekul-molekul perlekatan sel dan chemokin terkait dengan CBD berpotensi memberikan kemungkinan untuk menggunakan molekul-molekul yang merusak regulasi molekul-molekul imun ini untuk menghambat perkembangan gejala-gejala penyakit.

Sebuah pendekatan multidisiplin yang berbasis molekuler untuk meneliti CBD telah berhasil mengidentifikasi spesies-spesies berilium yang relevan, interaksinya dengan protein dan peranan potensialnya dalam penyakit. Ini tidak hanya bisa mengarah pada penyembuhan dan terapi yang potensial untuk CBD, tetapi juga memberikan wawasan tentang mekanisme-mekanisme logam lain dan penyakit-penyakit autoimun.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=162)

Mendiagnosa Penyakit dengan Air Mata

Air mata, yang lazimnya merupakan ungkapan rasa sedih atau bahagia, sekarang ini bukan lagi hanya sekedar tangisan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan itu sebab penelitian telah menunjukkan bahwa suatu hari nanti dokter bisa menggunakan air mata untuk mendiagnosa penyakit.

Kemungkinan ini ditunjukkan oleh Nicholas Stone dan Jacob Filik di Rumah Sakit Gloucester Royal, Inggris, dengan menggunakan sebuah teknik yang disebut coating deposition Raman (DCDR) spectroscopy untuk mendeteksi perubahan-perubahan konsentrasi protein dalam kadar mikroliter yang ditemukan pada air mata manusia. Seperti yang dijelaskan oleh Stone, "infeksi menyebabkan komposisi protein dalam cairan tubuh berfluktuasi, sehingga pendeteksian perubahan-perubahan kecil pada konsentrasi protein, penting untuk diagnosis penyakit."

Pola-pola pengeringan air mata diketahui berbeda jika terdapat infeksi dan ini telah digunakan dalam diagnosis penyakit, tetapi metode DCDR selangkah lebih maju dengan menganalisis protein-protein individual untuk menunjukkan secara pasti penyakit apa yang dialami. DCDR memekatkan larutan, memindahkannya ke sebuah substrat dengan aliran kapiler, sehingga membuat lebih mudah untuk mendapatkan spektra Raman-nya. Larutan lemah terus bertambah oleh cairan dari pusat dan terkonsentrasi dengan pola pengeringan yang khas pada saat pelarut menguap. Stone mampu menggunakan metode ini untuk mendeteksi perubahan-perubahan konsentrasi yang kecil dalam campuran lisozim, laktoferrin dan albumin, yang mewakili 95% protein yang ditemukan dalam air mata.

Andrew Berger, seorang ahli di bidang optik biomedis di Universitas Rochester, US, mengatakan bahwa "penelitian ini menunjukkan bahwa DCDR bisa menjadi alat yang bermanfaat untuk kimiawan analitik. Spektroskopi Raman memiliki spesifitas yang tinggi, tetapi sinyal yang dihasilkan sering terlalu lemah. Yang menarik dalam penelitian ini adalah bahwa sebuah proses penguapan sederhana bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan sinyal tersebut, sehingga membuka peluang untuk berbagai aplikasi baru."

Tetapi Stone mengingatkan bahwa "ada beberapa tantangan yang harus di atasi sebelum DCDR bisa digunakan secara meyakinkan untuk diagnosis penyakit. Ini mencakup penentuan apakah teknik ini cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan cairan yang disebabkan oleh penyakit dan bagaimana zat non-protein dan kontaminasi dalam sampel mempengaruhi hasil." Dia menambahkan bahwa juga ada "kesulitan dalam mencari penyakit mana yang paling cocok untuk pendeteksian dini dan terdapat begitu banyak perubahan protein sistematis yang harus dideteksi."

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=163)

Klorofil Membantu Mata Melihat di Malam Hari

Lebih memilih mengkonsumsi sayuran hijau ketimbang umbi-umbian bisa menjadi faktor penting untuk penglihatan yang baik di malam hari, menurut ilmuwan di Amerika Serikat. Ilyas Washington dan rekan-rekannya di Universitas Columbia, New York, telah menunjukkan bahwa sebuah turunan klorofil bisa meningkatkan kesensitifan mata terhadap cahaya merah.

Dalam penglihatan, cahaya mengaktivasi sebuah pigmen penglihatan yang mengirim sinyal listrik ke otak. Proses ini terjadi dalam retina dan sel kurucut dan batang. Sel-sel batang tidak sensitif terhadap warna dan sel-sel kerucutlah yang utamanya bertanggungjawab untuk penglihatan warna kita. Akan tetapi, apabila cahaya redup, sel-sel kerucut tidak berfungsi dan sebagian besar benda di sekeliling kita akan tampak dengan warna hitam-putih. Ini juga berarti bahwa kita tergantung pada sel-sel batang untuk melihat dalam kondisi gelap. Karena sel-sel batang ini sangat intensif pada warna merah dari spektrum sinar tampak, Washington memikirkan "Bagaimana seseorang dapat meningkatkan penglihatan di malam hari terhadap cahaya merah?"

Dengan didorong oleh penelitian yang menemukan bahwa ikan arwana di kedalaman laut melihat dengan menggunakan klorofil, para ilmuwan ini memberikan sebuah turunan klorofil (klorin e6) kepada mencit percobaan untuk membuktikan apakah penglihatan mencit terhadap warna merah meningkat. Dengan menggunakan teknik yang disebut elektroretinografi, yang mengukur respon sel retina terhadap kilasan cahaya, peneliti ini menemukan bahwa mencit yang diperlakukan dengan klorofil tadi menunjukkan respon yang hampir dua kali lipat terhadap cahaya merah jika dibandingkan dengan mencit yang tidak diberi klorofil. Mereka juga menunjukkan bahwa klorin e6 terlokalisasi dalam retina dan menyimpulkan bahwa kesensitifan penglihatan yang meningkat tersebut merupakan hasil dari penyerapan cahaya oleh klorofil.

Washington saat ini sedang melakukan penelitian yang serupa pada manusia. Ada kemungkinan bahwa mengkonsumsi suplemen turunan klorofil bisa memperbaiki penglihatan di malam hari, paparnya.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=164)

Teknologi Baru Lem Reversibel

Peneliti dari Inggris dan Jerman telah membuat sebuah sistem adhesi (perlekatan) terbaru yang reversibel, dimana dua permukaan akan saling menempel atau terpisah tergantung pada pH yang bekerja.

Mark Geoghegan dari Universitas Sheffield, Inggris, dan rekan-rekannya membuat sebuah "sikat" polimer dengan polibasa poli[2-(dimetil amino)etil metakrilat] sebagai "bulu sikat" dan permukaan silikon sebagai "gagang sikat". Mereka memasukkan sikat ini ke dalam sebuah gel yang mengandung poli(asam metakrilat), dimana rantai-rantai polimernya terikat silang secara tiga dimensi.

Pada kisaran pH netral atau sedikit asam, gugus-gugus asam dari gel membawa muatan negatif sedangkan gugus-gugus basa dari "bulu" sikat bermuatan positif. Pada kondisi-kondisi ini, ada gaya tarik elektrostatik yang kuat diantara kedua gugus dan sikat dan gel menempel begitu kuat.

Jika pH larutan berkurang sampai sekitar 1, gugus basa kehilangan muatannya dan permukaan ini terlepas tanpa ada kerusakan. Yang lebih penting lagi, proses ini reversibel. Geoghegan belum dapat memikirkan aplikasi langsung untuk penemuan ini, tetapi dia yakin bahwa temuan ini akan bermanfaat. "Hal penting bagi pengaplikasian temuan ini adalah ketika anda mulai berbicara tentang penataan yang sifatnya reversibel dalam sebuah lingkungan molekuler. Anda menginginkan sesuatu yang akan merespon secara otomatis terhadap lingkungannya dan memiliki mekanisme pengaturan otomatis," kata Geoghegan ke Chemistry World. "Saya melihat jenis teknologi ini akan menjadi bagian penting dari konsep perlengkapan molekuler untuk nanoteknologi halus - perkembangan alat-alat nanoteknologi yang bisa memediasi fenomena makroskopis. Dalam hal ini adhesi (perlekatan). Saya menyerahkan masalah ini kepada para ahli teknik rekayasa untuk memikirkan bagaimana temuan ini bisa diterapkan dalam sebuah alat, meskipun sebenarnya teknologi ini sangat sederhana sehingga saya tidak yakin bahwa temuan ini tidak akan berguna." Geoghegan sekarang ini sedang mencoba menentukan secara lebih rinci sifat-sifat gaya tarik yang terlibat dalam perlekatan tersebut, yang kelihatannya juga melibatkan ikatan hidrogen.

Bi-min Zhang Newby, seorang ilmuwan permukaan di Universitas Akron, Amerika Serikat, mengatakan bahwa penelitian ini "menarik karena menunjukkan perlekatan yang reversibel dari polielektrolit dengan hanya mengubah pH larutan." Dia menambahkan, "yang lebih penting lagi, penelitian ini signifikan secara ilmiah karena merupakan penelitian pertama yang mencoba menghitung besarnya kekuatan perlekatan dan menentukan asal-usul perlekatan dari material-material yang cocok, dalam hal ini, polielektrolit."

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=165)

Menimbang Molekul dengan Tabung-Nano

Ilmuwan di Amerika Serikat telah membuat sebuah sensor massa berskala-nano yang bisa menimbang molekul dengan presisi tingkat atom.

Kenneth Jensen dan rekan-rekannya di Universitas California, Berkeley, membuat alat ini dari sebuah tabung-nano karbon berdinding ganda dengan sebuah elektroda yang dipasang pada salah satu ujungnya. Partikel-partikel yang mendarat pada tabung-nano ini bisa ditimbang karena dengan menambah massa tabung partikel-partikel tersebut mengurangi frekuensi dimana tabung bervibrasi.

Tim peneliti ini menguji alat yang mereka buat dengan menimbang atom-atom emas, yang diuapkan ke atas tabung-nano. Hasil yang mereka peroleh menunjukkan bahwa alat ini mampu mengukur massa sekecil dua perlima massa sebuah atom emas (1,3 x 10-25 kg) dalam waktu satu detik.

Gambar TEM dari resonator nanomekanik yang dibuat dari tabung-nano karbon berdinding ganda

Ide penggunaan resonator untuk mengukur massa bukanlah hal yang baru, dan resonator mekanik berskala nano telah dibuat sebelumnya. Tetapi para peneliti dulunya berfokus pada pembuatan resonator dengan menggunakan material-material konvensional seperti silikon, kata Jensen. "Dengan menggunakan tabung-nano ketimbang silikon kami mampu menjadikan resonator kami ini 1000 kali lebih kecil volumenya. Ini cukup untuk meningkatkan resolusi agar dapat melihat atom-atom tunggal," kata dia. Kesensitifannya yang meningkat berarti bahwa resonator ini bekerja pada suhu kamar. "Biasanya orang mencoba untuk meningkatkan kinerja alat ini dengan menggunakannya pada suhu yang lebih rendah," tambah Jensen. Beroperasi pada suhu rendah bisa menghilangkan derau dari sebuah sistem tetapi memerlukan perlengkapan pendingin yang tidak sederhana.

Meskipun resonator tersebut belum memiliki kesensitifan yang sama seperti spektrometer massa, Jensen memaparkan bahwa sistem ini memiliki kelebihan-kelebihan khusus. Alat ini bisa digunakan dengan atom atau molekul netral, sehingga menghindari ionisasi sampel yang destruktuf seperti protein. Berbeda dengan spektrometer massa, resonator ini juga menjadi lebih sensitif pada rentang massa yang lebih tinggi, sehingga membuatnya lebih cocok untuk mengukur biomolekul-biomolekul yang besar seperti DNA. Terakhir, alat ini cukup kecil sehingga bisa digunakan pada sebuah chip.

Renato Zenobi. Seorang ahli spektrometri massa di Swiss Federal Institute of Technology (ETH) di Zurich terkesan dengan kesensitifan alat yang ditemukan ini. Tetapi saat ini, kata dia, alat ini perlu dikalibrasi menggunakan mikroskop elektron transmisi, dan alat ini sulit dibuat dalam skala besar. Meskipun dalam teori alat ini bisa digunakan untuk biomolekul, namun karakteristik perlekatannya ke tabung-nano masih belum diketahui. "Dan jika anda benar-benar ingin menerapkan teknik ini terhadap biomolekul mungkin anda masih harus melakukannya dalam fase gas - kemungkinan dengan ionisasi," kata Zenobi.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=168)

Sel Bahan Bakar Terbaharukan untuk Kendaraan Listrik

Beberapa ilmuwan telah berhasil membuat sel bahan bakar terbaharukan pertama yang bisa menyimpan lebih banyak energi dibanding bensin.

Kendaraan-kendaraan bertenaga listrik berpotensi lebih ramah lingkungan dibanding kendaraan berbahan bakar bensin karena tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca, tetapi sel-sel yang digunakan untuk tenaga penggerak tidak bisa menyimpan energi yang sama banyaknya seperti bahan bakar fosil. Sekarang, Stuart Licht dan rekan-rekannya di Universitas Massachusetts, Boston, Amerika Serikat, telah membuat sebuah sel bahan bakar vanadium borida-udara dengan kapasitas energi yang jauh lebih besar dibanding baterai-baterai kendaraan yang ada sekarang. "Sel ini memiliki kapasitas energi yang sepuluh kali lebih tinggi dibanding baterai-baterai ion lithium dan kepadatan energi yang tiga kali lebih besar dibanding baterai-baterai zink-udara," kata Licht, "walaupun semua sel dan baterai ini bekerja dengan cara yang sama."

Sebuah mobil listrik produksi GM (General Motors) bernama "Volt", yang rencananya akan diluncurkan di tahun 2010, menggunakan baterai ion lithium yang bisa menggerakkan mobil sejauh 40 mil sebelum harus diisi ulang. Untuk menambah jarak tempuh ini, GM menambahkan sebuah mesin bakar standar untuk mengisi ulang baterai jika sudah lemah.

"Sel bahan bakar terbaharukan yang kami buat membuka kemungkinan untuk membuat kendaraan-kendaraan bertenaga listrik dengan jarak tempuh yang tidak terbatas, tanpa mesin bakar terpisah, dan tanpa harus sering mengisi ulang baterai," kata Licht. Sel bahan bakar vanadium borida-udara hanya memerlukan udara dan bahan bakar segar untuk menyelesaikan proses pengisian ulang. Dengan menggunakan sistem ini, seorang pengendara hanya singgah di tempat pengisian bahan bakar untuk mendapatkan bahan bakar segar dan melanjutkan perjalanan kembali dengan sel vanadium borida-udara sebagai sumber energi kendaraan.

Peter Bruce, seorang ahli di bidang material baru untuk alat-alat penyimpanan energi di St Andrews University, Inggris, berkomentar: "Menemukan cara untuk menyimpan lebih banyak energi dibanding yang mungkin disimpan pada alat-alat yang ada sekarang ini merupakan sebuah tantangan penting dan solusi-solusi imajinatif diperlukan. Mengganti zink dalam baterai zink-udara dengan sebuah anoda vanadium borida merupakan sebuah percobaan yang sangat menarik. Akan tetapi, ini menimbulkan beberapa tantangan untuk alat-alat praktis, seperti pengisian ulang baterai, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang perlu dijawab."

Licht mengakui bahwa masih banyak upaya yang harus dilakukan sebelum sel bahan bakar ini bisa dikomersialkan. "Penelitian ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan kapasitas yang sangat tinggi dari sel ini. Rincian mesin, optimisasi sistem dan pengembangan skala produksi masih perlu dikembangkan," ungkapnya.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=167)

Air laut: Bahan bakar alternatif

Suatu saat nanti, anda mungkin akan melihat banyak anjing laut yang mengelilingi stasiun pengisian bahan bakar. Itu karena bukan aroma bensin, melainkan justru aroma pantai yang lebih terasa di SPBU.

John Kanzius, 63 tahun, telah berhasil menciptakan alternatif bahan bakar dari air laut. Secara kebetulan, teknisi broadcast ini menemukan sesuatu yang menakjubkan. Pada kondisi yang tepat, air laut dapat menyala dengan temperatur yang luar biasa. Dengan sedikit modifikasi, tidak menutup kemungkinan di masa depan, ini dapat di jadikan sebagai alternatif bahan bakar untuk kendaraan bermotor.

Perjalanan Kanzius menjadi inspirasi yang mengejutkan bermula ketika dia di diagnosis menderita leukimia pada tahun 2003. Dihadapkan dengan treatment kemoterapi yang melelahkan, dia memilih mencoba untuk menemukan alternatif yang lebih baik dalam menghancurkan sel-sel kanker. Kemudian di muncul dengan alat Radio Frequency Generator (RFG), sebuah mesin yang menghasilkan gelombang radio dan memancarkannya ke suatu area tertentu. Kanzius menggunakan RFG untuk memanaskan pertikel metal kecil yang dimasukkan ke dalam tumor, menghancurkan sel tumor tanpa merusak sel yang normal.

Tetapi, apa hubungannya antara kanker dengan bahan bakar air laut?

Selama percobaannya dengan RFG, dia menemukan bahwa RFG dapat menyebabkan air yang berada di sekitar test tube mengembun. Jika RFG dapat menyebabkan air mengembun, seharusnya ini dapat juga untuk memisahkan garam dari air laut. Mungkin, ini dapat digunakan untuk men-desalinitasi air laut. Sebuah peribahasa tua tentang laut, "air, air dimana-mana, dan tidak satu tetespun dapat diminum".

Beberapa negara mengalami kekeringan dan sebagian besar rakyatnya menderita kehausan, padahal 70% bumi adalah samudera yang notabene adalah air. Suatu metode yang efektif untuk menghilangkan garam dari air laut dapat menyelamatkan tak terhitung nyawa. Maka tidaklah heran jika Kanzius mencoba alat RFG-nya untuk tujuan desalinitasi air laut.

Pada test pertamanya, dia melihat efek samping yang mengejutkan. Ketika dia arahkan RFG-nya pada tabung yang berisi air laut, air itupun seperti mendidih. Kanzius lalu melakukan test kembali. Saat ini dengan kertas tisue yang terbakar dan menyentuhkannya ke dalam air laut yang sedang di tembak oleh RFG. Dia sangat terkejut, air laut dalam tabung terbakar dan tetap menyala sementara RFG dinyalakan.

Awalnya berita tentang eksperiment ini dianggap suatu kebohongan, tapi setelah para ahli kimia dari Penn State University melakukan percobaan ini, ternyata hal ini memang benar. RFG dapat membakar air laut. Nyala api dapat mencapai 3000 derajat Fanrenheit dan terbakar selama RFG dinyalakan.

Lalu bagaimanakah air laut dapat terbakar? Dan kenapa jika puntung rokok di lemparkan ke dalam laut tidak menyebabkan bumi meledak?

Ini semua berhubungan dengan hidrogen. Dalam keadaan normal, air laut mempunyai komposisi Natrium Klorida (garam) dan Hidrogen, oksigen (air) yang stabil. Gelombang radio dari RFG milik Kanzius mengacaukan kestabilan itu, memutuskan ikatan kimia yang terdapat dalam air laut. Hal ini melepaskan molekul hidrogen yang mudah menguap, dan panas yang keluar dari RFG memicu dan membakarnya dengan cepat.

Jadi akankah di masa depan nanti mobil atau motor memakai air laut daripada bensin?

Kalau teknologi ini benar-benar bisa terealisasi, dunia sudah tidak perlu khawatir lagi dengan krisis energi.

Bravo ilmu pengetahuan..!!!

sumber: http://auto.howstuffworks.com/

(dikutip dari: Wahyu Riyadi, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=166)

Nano Balon yang Sempurna

Penyimpan kedap udara tidak selalu kedap udara. Sebagaimana semua anak akan menemukan sehari setelah pesta ulang tahun, bahkan gas dalam balon helium yang diikat ketat tetap bocor setelah beberapa jam. Sekarang para ilmuwan telah menemukan medium penghalang yang sangat efisien yang tidak membiarkan apapun keluar ataupun masuk.

Sebagaimana dijelaskan dalam edisi terbaru jurnal applied physics letters, material pembungkus baru ini terbuat dari graphene, bahan karbon alami setebal satu lapisan atom.

Jenis karbon sejenis, graphite, digunakan pada pensil. Dalam ukuran mikroskopis, graphite terdiri atas milyaran lapisan dua-dimensi atom karbon. Fakta bahwa lapisan-lapisan ini terikat dengan longgar yang menjadikan graphite sebagai pelumas yang baik. Graphene adalah hasil dari pengambilan satu lapisan dari graphite. Jumlah karbon yang sangat kecil ini hampir tidak terlihat, sehingga graphene baru ditemukan beberapa tahun yang lalu.

Oleh karena karakter graphene yang unik − salah satunya adalah electron dapat melewatinya tanpa kehilangan banyak energi − graphene menjadi topic yang menarik di antara fisikawan. Salah satu karater graphene yang mengagumkan adalah kekuatan mekanisnya, yang cukup mengejutkan mengingat tebalnya yang sangat tipis.

Percobaan di laboratorium dan simulasi dalam komputer menunjukkan bahwa lapisan graphene dapat menahan tekanan tinggi dan dapat digunakan sebagai penyimpan yang ideal. Fisikawan dari Francois Peeters di University of Antwerp, Belgium, telah melakukan penelitian tentang bagaimana lapisan graphene dapat menyimpan gas dalam balon ukuran kecil. Jikalau ada atom yang dapat keluar dari penyimpan ukuran nano maka itu adalah helium. Sebagai salah satu gas mulia, helium adalah bahan inert dan dapat keluar melewati penutup ukuran nano apapun. Tapi, menurut peneliti Antwerp, Ortwin Leenaerts, helium tidak dapat keluar dari penyimpan graphene.

Percobaan di Cornell di laboratorium Harold Craighead, dengan selapis graphene yang direntangkan di atas sebotol penyimpan gas berukuran kecil, menunjukkan bahwa gas, bahkan yang bertekanan tinggi, tetap tersimpan (diterbitkan di jurnal Nano Letters).

Leenaerts berkata bahwa graphene, selain karater elektriknya, dapat digunakan pada sejumlah produk nano teknologi. Sebagai contoh adalah sensor tekanan berukuran kecil: tergantung dari tekanan dari gas dalam botol kecil, "stopper" graphene pada botol semacam ini akan bervibrasi pada frekuensi tertentu. Sebuah signal elektrik dapat dikirim, membuat graphene untuk berfungsi sebagai antenna radio kecil. Graphene bahkan dapat digunakan sebagai membran buatan. Graphene yang dibentuk dalam kapsul ukuran nano, hampir seperti sel buatan, dapat menyimpan obat yang dapat dilepaskan ke tubuh dalam waktu tertentu.

Sumber:

American Institute Of Physics (2008, November 25). The Perfect Nanoballoon: How Ultrathin "Graphene" Carbon Sheets Keep Everything Inside. ScienceDaily. Retrieved November 26, 2008, from http://www.sciencedaily.com

(dikutip dari: Amsal Sihombing, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=234)

Teknologi Photo-Bleaching pada Pulp. Mungkinkah?

Bleaching merupakan suatu rangkaian proses akhir yang sangat penting dalam produksi sebuah pulp. Secara definisi, bleaching adalah memindahkan/menghilangkan warna dari residu lignin dari kimia pulp untuk meningkatkan brightness, mempertahankan kestabilan brightness, kebersihan, dan sifat-sifat lain yang tidak diinginkan, dengan syarat bisa mempertahankan kekuatan selulosa dan daerah karbohidrat dalam pulp dari serat yang tidak diputihkan.

Bahan kimia pemutih adalah agen pengoksidasi yang dapat memecah molekul lignin dan memutus ikatan lignin-karbohidrat. Selama ini bahan-bahan pemutih yang banyak digunakan dalam industri pulp diantaranya klorin (Cl2), klorin dioksida (ClO2), Oksigen (O2), Hidrogen Peroksida (H2O2), natrium hipoklorit (NaOCl), asam hipokolit (HOCl), natrium hidroksida (NaOH), dan ozon (O3).

Photo-bleaching merupakan suatu proses pemutihan (bleaching) dengan menambahkan agen pemutih titanium dioksida (TiO2) kedalam benda yang diputihkan. Titanium dioksida mempunyai sifat fluoresensi yang dapat menyerap cahaya ditempat yang terang dan memancarkan cahaya yang telah diserap ketika berada ditempat yang gelap.

Aplikasi teknologi photo-bleaching telah banyak diterapkan untuk mengetahui kebocoran dalam sebuah pipa yang panjang dan berukuran kecil. Photo-bleaching memungkinkan kita untuk mengetahui kebocoran pipa yang berada dalam tanah dan sangat panjang. Dengan teknologi photo-bleaching ini, kebocoran pipa di dasar laut dapat diketahui tanpa harus menyelam kedasar laut.

Pada prinsipnya, teknologi photo-bleaching diatas dilakukan dengan menyelipkan titanium dioksida pada lapisan bagian dalam sebelum pemasangan pipa. Ketika terjadi kebocorang pipa maka dengan mudah dapat diketahui. Cukup dengan menyinari dengan cahaya dengan intensitas tertentu maka kebocoran pipa diketahui.

Aplikasi lain yang banyak diterapkan adalah pada cat bangunan. Untuk bangunan yang bertingkat-tingkat (misalnya 100 tingkat atau lebih), jika cat bangunan telah memudar, tentu akan susah untuk mengecat ulang bangunan tersebut, membutuhkan biaya dan resiko yang besar bagi pekerja yang mengecat bangunan tersebut karena berada pada ketinggian melebihi batas normal. Belum lagi setiap tahun bangunan harus dicat ulang karena memudar. Dengan teknologi photo-bleaching, kesukaran itu dapat dihindari. Titanium dioksida ditambahkan dalam campuran kimia cat, menjadikan cat bersifat fluoresens. Cat bangunan yang telah memudar yang telah ditambahkan titanium dioksida ini akan menjadi putih kembali dengan bantuan sinar matahari. Sehingga, bangunan cukup dicat sekali saja, selanjutnya akan putih kembali jika memudar dengan adanya sinar matahari. Jadi, meskipun pada awalnya harus mengeluarkan biaya yang besar, tetapi untuk selanjutnya kita tidak perlu mengecat ulang lagi.

Lalu mungkinkah teknologi photo-bleaching ini diterapkan pada pulp atau malah kertas? Diakui teknologi photo-bleaching membutuhkan biaya yang mahal pada mulanya. Titanium dioksida memang mahal. Akan tetapi jika kita runut dari awal sampai akhir mungkin kita akan berpikir mengapa tidak dimanfaatkan teknologi ini. Disamping itu, titanium dioksida merupakan agen pemutih yang akan memberikan efek kecerahan (brightness) yang lebih tinggi dibandingkan dengan agen pemutih lainnya. Sehingga akan menghasilkan produk pulp yang mempunyai brightness yang tinggi dan tentu saja akan menaikkan grade dari pulp itu sendiri.

Secara umum, keuntungan yang didapatkan dengan teknologi photo-bleaching ini adalah memberikan brightness dan index refraksi serta opacity yang tinggi. Pulp-pulp yang menumpuk digudang tidak lagi mebuat kita khawatir jika menguning, sehingga terpaksa didaur ulang lagi. Teknologi photo-bleaching memungkinkan pulp yang telah menguning dapat putih kembali dengan menjemurnya pada sinar matahari langsung. Sehingga mengurangi biaya daur ulang.

Seperti kita ketahui bersama, karaktristik bahan kimia pemutih adalah mempunyai berat yang ekuivalen (setara), efisien, bersifat reaktif dan selektif, mempunyai kemampuan partikel pemutih, serta tidak merusak lingkungan. Bagaimana dengan titanium dioksida?

Penulis mengakui perlu penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang teknologi photo-bleaching ini, seperti efek terhadap lingkungan dan sebagainya. Kedepan, sepatutnya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai teknologi photo-bleaching ini.

Catatan : Pulp merupakan kumpulan serat/selulosa sebagai bahan baku pembuatan lembaran kertas.

(dikutip dari: Yoky Edy Saputra, http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=58)

Teknik Baru Mengungkap Rahasia Plasma

Para peneliti Universitas British Columbia (UBC) mengembangkan sebuah teknik yang dapat membawa ilmuwan satu langkah lebih maju dalam mengungkap rahasia dari bentuk materi terbesar di alam ini (plasma − red).

Plasma − atau gas yang terionisasi − dapat ditemukan di bola lampu, ataupun di ledakan nuklir. Bagian atas atmosfer bumi adalah plasma, sebagaimana petir dan semua bintang yang menerangi langit di waktu malam.

Hampir seratus tahun, fisikawan bekerja untuk mengembangkan teori- teori matematika berkaitan dengan keadaan plasma, tetapi pengetahuan terperinci tentang plasma dan dinamika interaksinya sulit untuk dipahami. Plasma convensional bersifat panas, komleks dan sulit untuk dikarakterisasi baik di alam maupun di laboratorium.

Baru-baru ini, sejumlah kecil laboratorium telah mulai mengembangkan plasma kelas baru yang sangat sederhana sehingga menjanjikan untuk membawa pemahaman kita ke tingkat yang baru. Disebut sebagai plasma lewat dingin, sistem ini dimulai dengan atom yang terperangkap, didinginkan sampai beberapa derajat di atas nol abosolut, untuk menciptakan awan ion dan elektron yang berada dalam keadaan hampir diam. Dengan kontrol ini, peneliti dapat mempelajari langkah-langkah dasar bagaimana plasma terlahir dan bertumbuh.

Untuk pertama kalinya, para peneliti UBC telah menemukan cara untuk menciptakan plasma lewat dingin dari molekul. Dimulai dengan sample gas yang didinginkan dalam pemancar molekuler supersonic, sebuah kelompok yang dipimpin Ed Grant, professor dan kepala Fakultas Kimia UBC, menciptakan sebuah plasma nitric oxide dengan temperatur ion dan elektron sedingin plasma yang diciptakan dari atom yang terperangkap.

Plasma ini bertahan selama 30 mikrodetik atau lebih, tidak seperti atom, ion-ion molekuler dapat terdisasosiasi secara cepat melalui rekombinasi dengan electron."Adalah keajaiban bahwa plasma kami bisa terbentuk sama sekali," ujar Grant."Kami pikir partikel bermuatan tinggi yang kami ciptakan ikut campur dalam rekombinasi ion − elektron."

Teknik mereka yang dijelaskan secara rinci dalam edisi terbaru jurnal Physical Review Letters, tidak hanya memproduksi plasma dengan muatan 3 kali lebih padat dari yang dibuat dengan atom yang terperangkap, tetapi juga terlihat mencapai tingkat korelasi yang lebih tinggi, sebuah faktor yang mendeskripsikan gerakan menyerupai cairan yang terjadi.

"Molekul mewakili cawan suci dari sains lewat dingin," kata Grant."Kemampuan untuk tidak menggunakan teknik atom terperangkap memberi kami kebebasan dan dapat menuntun seluruh ilmu bidang fisika ke arah yang baru."

Grant menambahkan bahwa pemahaman lebih lanjut tentang plasma lewat dingin pada tingkat molekuler dapat membuka pengetahuan baru tentang planet planet gas(Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus di tata surya kita), bintang White Darf, proses fusi termonuklir dan sinar X-.

Sumber:

University of British Columbia (2008, November 23). Breakthrough Technique Unlocks Secret Of Plasmas. ScienceDaily. Retrieved November 26, 2008, from http://www.sciencedaily.com

(dikutip dari: Amsal Sihombing, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=238)

Katalis di dalam Tabung Karbon Nano

Memasukkan partikel logam berukuran nano kedalam karbon nanotubes akan mengubah sifat redoks dari partikel dan dapat meningkatkan efektifitasnya sebagai katalis, menurut sebuah penelitian baru (J. Am. Chem. Soc., DOI: 10.1021/ja8008192). Investigasi ini bertujuan utama untuk mengembangkan prosedur baru dalam mengubah - ubah sifat elektronik dari partikel berukuran nano yang dapat diaplikasikan dalam bidang katalisis, sensor gas dan peralatan magnetis

DIDALAM ATAU DILUAR? Sebuah metode baru dapat mendeposit partikel katalis berukuran 5 nm didalam karbon nanotubes (gambar kiri). Dibandingkan dengan partikel diluar tabung (kanan), partikel didalam nanotubes menunjukkan peningkatan aktifitas katalis.

"Carbon nanotubes" bisa dikatakan serupa dengan karbon aktif yang digunakan secara komersial sebagai penyangga katalis, namun karbon nanotubes memiliki sifat elektronik yang unik yang menjadikannya penyangga katalis yang lebih baik dari karbon aktif untuk reaksi-reaksi tertentu. Para peneliti secara khusus sangat tertarik dengan efek yang ditimbulkan dari penempelan partikel katalis pada permukaan dalam tabung, yang selama ini penelitian sebelumnya hanya mampu menempelkan partikel logam dipermukaan luar.

Sekarang Xinhe Bao, Xiulian Pan, Wei Chen, dan Zhongli Fan di Dalian Institute of Chemical Physics, China, telah memperlihatkan metode fase larutan yang dibantu dengan ultrasonication secara selektif mampu mendeposit partikel nano besi oksida kedalam karbon nanotubes. Partikel ini merupakan prekrusor sebagai katalis dalam sintesa Fischer-Tropsch (FT), sebuah metode untuk membuat bahan bakar sintetik dari campuran CO dan hydrogen.

Tim peneliti tersebut menemukan bukti bahwa partikel yang terperangkap lebih sensitif terhadap reduksi kimia daripada partikel yang menempel di permukaan luar nanotubes. Secara khusus, mereka melaporkan dengan dimasukkannya partikel besi oksida ke dalam nanotubes akan meningkatkan rasio antara besi karbida dengan besi oksida sebesar dua kali lipat di permukaan katalis ketika terjadi reaksi. Konsentrasi tinggi dari besi karbida ini dipercaya sangat berpengaruh dalam reaksi FT.

Karbon Nanotubes, Tiga jenis karbon nanotube berdasarkan susunan atom karbon di dindingnya

Dalam test FT sintesis tersebut, mereka juga mengamati konsentrasi hidrokarbon yang terbentuk dengan rantai karbon lebih atau sama dengan lima rantai. Mereka mendapati peningkatan produksi hidrokarbon rantai panjang enam kali lebih besar dengan menggunakan katalis karbon nanotubes yang diisi di dalamnya dengan partikel besi oksida dibandingkan dengan nanotubes yang dilekati partikel besi oksida diluarnya.

Untuk menghindari hambatan difusi pereaktan masuk mendekati permukaan katalis yang berada didalam tabung, para peneliti mensiasatinya dengan memotong-motong tabung menjadi potongan yang lebih pendek. Ditambah lagi bahwa reaksi berjalan lebih baik dengan memasukkan partikel katalis kedalam tabung juga telah membuktikan bahwa difusi bukanlah menjadi halangan yang serius.

"Ini merupakan kerja yang luar biasa" kata Charles H. F. (Chuck) Peden, seorang ilmuwan senior di Pacific Northwest National Laboratory. Disini nyata sekali perbedaan yang dramatis dari sifat-sifat fisis dan kimia dari partikel katalis ketika diletakkan diluar dan didalam tabung, komentarnya lebih lanjut.

(dikutip dari: Chandra Wahyu Purnomo, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=237)

Cat Pemulih dan Pembungkus Pintar dari bahan Nano Partikel

Peneliti kimia di Universitas Warwick telah menciptakan proses elegan yang sederhana dan murah yang dapat menutupi partikel polimer dengan lapisan nano partikel berbahan silika. Hasil akhir berupa material berdaya tahan tinggi yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai material berdaya guna tinggi seperti cat pemulih, dan pembungkus pintar yang dapat dibentuk untuk mengijinkan air dalam jumlah tertentu, udara ataupun keduanya untuk lewat dengan arah tertentu.

Penelitian yang dipimpin oleh Dr Stefan Bon dari Fakultas Kimia Universitas Warwick, telah menciptakan "proses emulsi polimerasi bebas sabun" yang membuat parikel koloid polimer tersebar di air dan dalam satu langkah sederhana mencampur silika ukuran nano ke dalam campuran. Partikel nano berbahan silika ini (berukuran sekitar 25 nanometer) akan melapisi koloid polimer dengan lapisan yang "menubruk" polimer tersebut seperti ikan yang dilapisi remah-remah roti.

Proses ini menghasilkan polimer latex yang kuat. Polimer ini dapat digunakan untuk membuat cat anti gores dimana goresan-goresan akan memulihkan dirinya sendiri. Polimer ini dapat pula diubahsuai untuk menghasilkan pembungkus berbasis polimer yang akan memungkinkan air dan udara lewat dengan cara tertentu. Lapisan berbentuk bola dengan permukaan kasar juga memungkinkan mereka untuk menciptakan lembaran-lembaran polimer dengan luas permukaan yang lebih besar dari umumnya yang memungkinkan interaksi yang lebih efisien dengan material lainnya.

Kegunaan dari proses ini tidak hanya berhenti disitu. Dengan mengulangi proses pelapisan pada permukaan polimer yang telah dilapisi oleh partikel nano berbasis silika, para peneliti mampu menghasilkan partikel dengan karakter dan kegunaan yang lebih luas. Gambar di atas menunjukkan koloid polimer yang telah dilapisi ulang dan dicitra dengan mikroskop elektron.

Kalangan industri tertarik tidak hanya pada kekuatannya, akan tetapi juga pada kemudahan dan biaya rendah dari proses tersebut. Para peneliti Warwick telah mengerjakan sejumlah proses lain yang melapisi polimer sebagai pelindung, akan tetapi mereka membutuhkan beberapa langkah untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan. Proses baru ini memangkas waktu yang dibutuhkan secara signifikan untuk menciptakan material semacam itu dan dalam satu langkah dapat diproduksi secara masal dengan peralatan industri saat ini.

Jumlah material yang dapat dihasilkan dari proses ini juga akan memukau kalangan industri karena peneliti dari Warwick menunjukkan bahwa jumlah produk yang dapat dihasilkan adalah sekitar 45% dari total volume larutan berbahan air yang digunakan dalam proses ini. Jumlah ini lebih tinggi dari proses lainnya yang hanya menghasilkan 1 − 10 % dari total volume air yang digunakan.

Sumber:

University of Warwick (2008, November 24). Polymers "Battered" With Nanoparticles Could Create Self Healing Paints And Clever Packaging. ScienceDaily. Retrieved November 26, 2008, from http://www.sciencedaily.com

(dikutip dari: Amsal Sihombing, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=236)

Jalur Cepat Pembuatan Bensin

Proses untuk mengubah serpihan kayu, limbah pertanian dan biomasa lainnya menjadi bahan bakar transportasi telah meyita perhatian para peneliti. Salah satu dari peneliti yang tertarik mengembangkan teknologi ini adalah insinyur kimia George W. Huber, yang timnya di University of Massachusetts, Amherst melaporkan suatu proses pirolisis katalitik selektif yang untuk pertama kalinya mampu mengubah secara langsung selulosa kedalam senyawa yang dapat dipakai untuk membuat bensin (ChemSusChem, DOI: 10.1002/cssc.200800018)

Masalah yang terbesar dari konversi biomasa adalah yang dinamakan "recalcitrance" dari tanaman, yaitu ketidakmampuan secara cepat dan ekonomis untuk mengubah secara langsung karbohidrat kompleks dari tanaman menjadi bahan kimia berguna dan bahan bakar. Para peneliti mencari beberapa pendekatan baik fisis, kimia dan biologis untuk mengatasi masalah recalcitrance ini, termasuk teknik pirolisis baru yang dikembangkan oleh Huber dan mahasiswa pascasarjananya Torren R. Carlson dan Tushar P. Vispute.

Pirolisis adalah sebuah metode baku yang melibatkan pemanasan material padat organik, termasuk limbah pertanian dan industri pada suhu tinggi dan kedap oksigen. Proses ini akan mendekomposisi material tersebut menjadi campuran hidrokarbon cair.

Para peneliti di UMass mengidentifikasi kondisi − kondisi reaksi yang diperlukan untuk mengontrol pirolisis dari serbuk selulosa dan karbohidrat berbasis biomasa lainnya yang dicampur dengan serbuk halus katalis zeolite ZSM5. Selulosa pertama-tama akan terdekomposisi menjadi bahan organik volatil teroksigenasi yang secara selanjutnya memasuki pori-pori zeolit dan secara selektif mengalami serangkaian reaksi dekabonilasi, dehirasi, oligomerisasi dan reaksi lainnya. Huber mengatakan, proses mereka memakan waktu kurang dari 2 menit pada suhu 600°C didalam reaktor yang didesain khusus yang dapat menghailkan senyawa-senyawa aromatis berupa naphthalene, ethylbenzene, toluene, dan benzene; produk samping termasuk arang, H2O, CO, dan CO2.

Namun proses ini masih memiliki beberapa batasan saat ini. Sebagai contoh, para peneliti masih memakai selulosa murni sebagai bahan awal pirolisis. Tambahan lain, regulasi di US metapkan jika campuran bensin harus mengandung senyawa aromatis lebih kecil dari 25% termasuk kurang dari 1% untuk bensen.

Huber mengatakan, kalau menggunakan bahan biomasa alami harusnya akan menghasilkan produk yang sama dengan memakai selulosa murni ketika proses ini nantinya telah dioptimalisasi. Dia juga menyadari bahwa batasan peraturan dari bensin terhadap kandungan senyawa aromatis akan membatasi pemakaian produknya. Namun dia menjelaskan produk aromatis ini dapat dicampur dengan senyawa alkana dan komponen lain untuk membuat bensin standar, atau senyawa aromatis dapat di hirogenasi untuk menghasilkan alkana. Jika kami menggabungkan langkah hidrogenasi didalam proses ini maka secara prinsip akan dapat mengahsilkan bensin yang standar, ungkap Huber.

Huber, bersama para mahasiswanya.

Metode pirolisis baru ini merupakan metode sederhana untuk mengolah biomasa dalam jumlah yang besar dengan waktu yang singkat, komentar John R. Regalbuto, direktur dari National Science Foundation, yang mensuport kegiatan Huber. Proses Huber ini yang mengubah secara langsung selulosa menjadi bensin aromatis merupakan teknologi terdepan saat ini yang telah mengubah paradigma terhadap pembuatan bensin alternatif terbarukan, kata Regalbuto lebih lanjut.

(dikutip dari: Chandra Wahyu Purnomo, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=235)

Jumat, 12 Desember 2008

Kalimat-Kalimat Maut Untuk Mikroba

Peneliti di Amerika Serikat telah menggunakan metode-metode yang dipinjam dari ilmu linguistik dalam perburuan agen-agen antimikroba yang baru. Peptida-peptida antimikroba sintetik (AMP), berbasis AMP alami yang telah lama kita gunakan untuk melawan infeksi, memperlihatkan potensi untuk mencegal penyebaran mikroba-mikroba yang kebal antibiotik. Tetapi AMP sintetik yang memiliki urutan peptida acak bisa mempertahankan perkembangbiakan bakteri-bakteri yang kebal terhadap sistem pertahanan imun alami kita.

Urutan-urutan peptida mengikuti aturan-aturan yang mirip aturan grammar - mengurutkan peptida-peptida secara berbeda, seperti menata ulang kata-kata dalam sebuah kalimat, akan memberikan makna berbeda tergantung pada struktur gramatikal yang dibentuk. Gregory Stephanopoulos dan rekan-rekannya di Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, US, telah berhasil mensintesis AMP yang memiliki "grammar" yang sama dengan AMP alami, tetapi memiliki urutan-urutan yang berbeda. Dengan menggunakan metode-metode dari linguistik untuk memahami strukturnya, lipatan dan keragaman protein telah diperdebatkan selama puluhan tahun. Tetapi ini tidak melahirkan urutan-urutan protein yang baru. Para peneliti ini sekarang mendapatkan serangkaian aturan gramatikal untuk urutan-urutan AMP alami dan menggunakannya untuk mensintesis peptida-peptida baru.

Para peneliti ini membangun kumpulan lebih dari 700 grammar berbeda. Masing-masing grammar merupakan sekumpulan aturan yang menentukan kombinasi mana dari kata-kata (asam amino) yang bisa disambung untuk membentuk sebuah kalimat (peptida). Dengan panjang yang terbatas pada 10 kata, masing-masing dari grammar ini menentukan kegunaan sebuah kata tertentu dalam posisi tertentu, disamping memungkinkan pemilihan beberapa kata berbeda di posisi lainnya.

Kelompok Sephanopoulos menyusun daftar semua kalimat 20-kata yang memenuhi sekurang-kurangnya satu grammar 10-kata pada setiap penggalan 10-kata nya. Dari daftar ini, mereka menghilangkan semua peptida yang memiliki banyak kemiripan urutan dengan AMP alami yang diketahui. Ini menyisakan sekumpulan peptida yang berbeda dengan AMP alami, tetapi mengikuti aturan-aturan gramatikal yang sama. Dengan membandingkan efek-efek antimikroba dari peptida-peptida ini dengan kontrol-kontrol tersusun acak yang mengandung kata sama dalam urutan/kalimat berbeda, mereka menemukan bahwa aturan-aturan gramatikal yang mereka buat dapat memprediksikan aktivitas antimikroba.

Yechiel Shai, yang baru-baru ini menemukan golongan baru lipopeptida antimikroba ultra-kecil, menyambut baik tambahan sistem persenjataan untuk memerangi mikroba ini. "Ini penelitian sangat menarik yang memperkaya sistem persenjataan peptida-peptida antimikroba yang tersedia," kata Shai ke Chemistry World. "Menarik untuk mencari tahu apakah pendekatan seperti ini bisa dimanfaatkan untuk penemuan peptida-peptida berantai pendek dengan sifat-sifat antimikroba yang lebih baik dibanding peptida alami yang biasa digunakan dalam terapi.

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=195)

Cat Mobil Anti Korosi

Fosfonat dapat memberikan perlindungan bagi cat mobil metalik. Peter Tasker di Universitas Edinburgh, Inggris, dan rekan-rekannya meneliti berbagai senyawa asam fosfonat yang bisa terikat ke aluminium yang teroksidasi dengan mudah. Serpihan-serpihan aluminium memberikan kilau reflektif pada beberapa cat mobil, tetapi permukaan kilau ini bisa menjadi pudar akibat pembentukan aluminium oksida.

"Teknik yang lazim digunakan untuk menjaga reflektifitas (keterpantulan) serpihan-serpihan aluminium tersebut melibatkan proses chromating, tetapi pertimbangan terhadap sifat-sifat karsinogeniknya telah mendorong pencarian reagen-reagen yang lebih lunak," kata Tasker. "Teknik yang menggantikan cat-cat berbasis pelarut dengan lapisan-lapisan berbasis pelarut-air memiliki kesulitan teknis dalam menghasilkan dispersi kilau-kilau aluminium yang stabil, karena lapisan-lapisan ini bereaksi dengan air."

Reaksi aluminium dengan air menghasilkan aluminium trihidroksida dan gas hidrogen. Tim Tasker menemukan bahwa fosfonat yang terikat kuat ke aluminium juga sangat mengurangi jumlah hidrogen yang dihasilkan dari sebuah suspensi kilau aluminium dalam sebuah model cat yang berbasis air.

Tim peneliti ini membandingkan kilau-kilau terproteksi fosfonat yang mereka buat dengan sampel-sampel yang tersedia di pasaran, dan menemukan bahwa kilau-kilau yang mereka buat berkinerja sama baiknya dengan kilau aluminium yang terproteksi silika.

"Fosfonat telah dibuktikan sebagai senyawa pengikat yang baik untuk aluminium dan menjanjikan untuk teknik permukaan alimunium teroksidasi," kata Tasker.

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

(dikutip dari: soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=194)

Komputer biologis dari RNA

Ilmuwan di Amerika Serikat telah berhasil merakit asam-asam ribonukleat ke dalam sebuah sistem logika teradaptasikan yang bisa diprogram untuk mengindera dan merespon molekul-molekul di dalam sel-sel jamur yang hidup. Penelitian ini membuka jalan untuk penemuan peranti-peranti buatan yang dapat memantau kondisi-kondisi sel dan mengambil tindakan yang diperlukan − seperti menyalurkan obat untuk mengobati sebuah sel yang sakit.

Komputer biologis ini, yang seluruhnya terbuat dari RNA, mengontrol translasi RNA duta (mRNA) menjadi protein. Sejauh ini, komputer-komputer biologis tersebut baru dapat ditanam di dalam mRNA protein fluoresens hijau (GFP), untuk membuat sel-sel jamur menyala hijau sebagai respon terhadap keberadaan molekul-molekul tertentu. Tetapi menurut teori, respons ini bisa menjadi fungsi molekuler manapun, papar Christina Smolke, yang memimpin penelitian di Institut Teknologi California.

Melalui alat-alat komputasi biologis yang telah dibuat sebelumnya, Smolke menekankan bahwa penelitiannya menemukan sebuah kerangka umum untuk membangun bio-komputer yang berbasis RNA. Sistem ini mudah diprogram, paparnya, karena terbuat dari tiga komponen terpisah yang dapat disesuaikan, analog dengan komponen-komponen "tancap dan main" yang ada di sirkuit-sirkuit elektronik.

Sensor dari masing-masing peranti terbuat dari sebuah aptamer RNA, sebuah rantai pendek yang mengikat molekul target spesifik. Dengan menggunakan rantai RNA lain, aptamer RNA ini digabungkan dengan sebuah ribozim, rantai akhir dari RNA yang bisa memotong mRNA. Apabila sebuah molekul "input" terikat ke sensor, ini menimbulkan perubahan konformasi dalam ribozim − baik dengan menyebabkannya memotong mRNA, atau dengan menutupnya.

"Kami mengelompokkan komponen-komponen bio-komputer ini dalam tiga kategori fungsional: sensor, pemancar, dan aktuatora," kata Smolke. "Jadi selama sepotong RNA merupakan sebuah sensor, misalnya, maka anda bisa menancapkannya ke bagian dari alat ini. Dan jadi anda memiliki kemampuan "tancap dan main" ini yang memungkinkan anda untuk merakit fungsi-fungsi yang beragam dari jumlah yang sangat kecil dari komponen-komponen yang telah ditentukan."

Smolke dan rekannya Maung Nyan Win menggunakan sistem mereka untuk membuat gerbang-gerbang logika biomolekuler, dengan meniru yang ada pada sirkuit-sirkuit elektronik. Peranti RNA mereka ini adalah yang pertama membuat komputasi multi-input (dengan bereaksi terhadap dua atau lebih molekul pada saat yang sama). Dalam sebuah contoh sederhana (gerbang AND), fluoresensi dalam sel-sel jamur dideteksi hanya ketika dua input molekuler, teophylin dan tetrasiklin, kedua-keduanya ada.

"Ini merupakan sebuah tahapan yang sudah berada dalam jalur yang tepat," kata Milan Stojanovic, seorang ahli terapeutik eksperimental yang sedang meneliti biokomputasi di Columbia University di New York. "Sebuah tahapan terhadap pencapaian beberapa harapan yang sangat besar dimana anda akan memiliki sirkuit-sirkuit buatan lengkap yang melakukan berbagai fungsi otomatis dalam sel. Harapan saya bahwa dalam jangka lima atau sepuluh tahun, gambaran lengkap dari peranti ini sudah rampung. Friedrich Simmel, yang meneliti komputasi biomolekuler di Technical University of Munich di Jerman, mengatakan, "Cukup sulit untuk mengatakan apakah ini akan bekerja pada kondisi sesungguhnya tapi pada dasarnya anda bisa membuat komputasi-komputasi logis rumit dengan beberapa fungsi yang ditunjukkan disini."

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=212)

Pengobatan bebas suntikan untuk pasien diabetes?

Sebuah senyawa yang ditemukan dalam bawang putih merupakan dasar untuk alternatif obat potensial yang dapat diberikan lewat mulut untuk dibates tipe 1 dan 2.

Kejadian diabetes terus meningkat di seluruh dunia, dan semakin diperlukan untuk menemukan perawatan yang efektif. Perawatan yang ada sekarang ini melibatkan suntikan dengan insulin (utamanya untuk penderita diabetes tipe 1), atau perawatan dengan obat (untuk diabetes tipe 2). Akan tetapi, kata Hiromu Sakurai, dari Suzuka University of Medical Science, Jepang, tidak ada dari metode-metode ini yang ideal, karena metode-metode ini sering melibatkan suntikan, dan obat-obat yang digunakan memiliki efek samping yang tidak diinginkan. Dalam penelitian terdahulu, kelompok Sakurai telah menunjukkan bahwa sebuah kompleks vanadium dan allixin, senyawa yang ditemukan dalam bawang putih, menurunkan kadar glukosa darah untuk model diabetes tipe 1 dan 2 pada hewan mencit dan juga ditemukan bahwa efek ini tetap ada untuk mencit model diabetes tipe 2 yang diberikan senyawa kompleks ini lewat mulut. Dalam studinya yang terbaru, tim ini menemukan bahwa kompleks yang yang diberikan lewat mulut juga menurunkan kadar glukosa pada mencit model diabetes tipe 1, sehingga memberikan harapan untuk pengobatan pasien diabetes tipe 1 tanpa suntikan.

Kompleks vanadil dari allixin yang terdapat dalam bawang putih menurunkan glukosa darah pada model diabetes

Penelitian baru ini berfokus pada bagaimana kompleks allixin bekerja. Dengan menguji efek kompleks ini terhadap gen yang terkena diabetes, mereka menemukan bahwa kompleks ini mengaktivasi bukan hanya mekanisme pensinyalan insulin, yang meregulasi metabolisme glukosa, tetapi juga sebuah enzim yang membantu sel menyerap glukosa.

John McNeill merupakan seorang profesor besar di divisi farmakologi dan toksikologi University of British Columbia, Vancouver, Canada. Dia mengatakan bahwa walaupun senyawa-senyawa vanadium lain menjanjikan untuk pengobatan diabetes, namun penelitian ini cukup ekstensif dan "memberikan tambahan informasi yang signifikan kepada kita tentang bagaimana senyawa-senyawa vanadium bisa mempengaruhi karbohidrat dan metabolisme lipid."

Para peneliti tersebut mengatakan bahwa allixin dan kompleks-kompleks yang serupa bisa menjadi kandidat yang baik untuk mengobati diabetes tipe 1 dan 2. Penelitian selanjutnya, kata Sakurai, akan difokuskan pada trial-trial klinis tentang kompleks-kompleks ini pada pasien diabetes manusia.

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=219)

Komputer berbasis kimia

Kimiawan di Israel dan Cina telah mengembangkan sebuah elektroda terfungsionalisasi yang bertindak sebagai sebuah elemen memori untuk mengkodekan dan mengolah informasi.

Itamar Willner di Universitas Jerusalem dan rekan-rekannya membuat sebuah saklar on/off dengan memodifikasi elektroda emas dengan sebuah ekalapis (monolayer) organik yang merespon terhadap stimulus elektrokimia dan fotokimia.

Sistem on/off dari elemen-elemen merupakan salah satu dasar untuk membuat komputer elektronik standar. Agar dapat diterapkan secara praktis, pendekatan berbasis kimia harus dipadukan dengan sistem-sistem yang memungkinkan pembacaan data yang tersimpan.

Willner mengkodekan informasi dengan stimulasi elektrik yang merubah molekul dari ekalapis (monolayer) menjadi konformasi tertentu. Informasi yang dikodekan ini kemudian dibaca sebagai sebuah perubahan dalam sifat-sifat elektrokimia dari elektroda.

Informasi yang tersimpan selanjutnya bisa dihapus melalui radiasi dengan cahaya panjang gelombang tertentu yang mentransformasi molekul-molekul kembali ke keadaan asal.

Sangat banyak komposisi dan struktur kimia yang ditawarkan oleh molekul-molekul organik yang bisa mengkodekan informasi yang sangat besar, menurut tim peneliti ini.

"Ketertarikan untuk mengembangkan material-material cerdas yang melakukan fungsi-fungsi logika dan operasi aritmetik terus menerus berkembang. Sistem-sistem seperti ini dianggap sebagai komputer-komputer berbasis kimia yang potensial." Papar Willner.

Dia mengatakan bahwa penelitian mereka "akan mendorong para kimiawan organik dan ilmuwan material untuk mensintesis material-material cerdas yang bisa melakukan fungsi dengan kompleksitas dan variabilitas yang lebih tinggi."

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld/

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=225)