Sabtu, 29 November 2008

Kelapa sebagai Bioindustri Potensial Indonesia

Jika anda berjalan-jalan ke pulau Sumatera, pasti anda akan sering menjumpai pohon kelapa ada dimana-mana. Sejauh ini pemanfaatan kelapa di Sumatera masih sangat terbatas baik oleh penduduk maupun pemerintah daerah. Umumnya kelapa tersebut hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan (santan kelapa) ataupun minuman (es kelapa muda) yang nilai tambah secara ekonomi tergolong rendah. Hal ini tidak terlalu beda jauh dengan pemanfaatannya secara umum di Indonesia, yang masih berkutat pada produk makanan dan minuman.

Hal ini sebenarnya sangat disayangkan. Karena potensi kelapa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperluas lapangan pekerjaan cukup menjanjikan. Berbagai produk komersial dari bioindustri kelapa sangat beranekaragam selain daripada produk makanan dan minuman. Pemanfaatan tersebut antara lain liquid smoke atau asap cair (alternatif bahan pengawet pengganti formalin), produk Virgin Coconut Oil (VCO), biodiesel, adsorben, produk minyak goreng, produk sabun, serat sabut kelapa, beriket arang (pengganti briket batubara), produk nata de coco, produk karbon aktif, dan lain-lain. Dengan pemodalan yang cukup dari pemerintah atau swasta, kesemuaan produk tersebut dapat menjadi bioindustri rakyat yang potensial.

Asap Cair (Liquid Smoke)

Seiring dengan telah diketahuinya dampak negatif dari bahan pengawet formalin bagi kesehatan, maka diperlukan alternatif penggantinya. Alternatif yang sekarang sedang marak diproduksi adalah asap cair dari tempurung kelapa. Asap cair ini mengandung lebih dari 400 komponen kimiawi yang memiliki fungsi sebagai pengawet alami melalui sifat antimikrobial dan antioksidannya. Dari 400 komponen kimiawi tersebut, yang paling berperan dalam pengawetan adalah senyawa asam, fenol, dan karbonil dengan komposisi masing-masing adalah 10,2%, 4,13% dan 11,3%. Produk asap cair ini dapat digunakan untuk mengawetkan ikan, daging, sayuran, buah-buahan ataupun sebagai pengeras/pengawet karet dan anti rayap dalam industri kayu.

Virgin Coconut Oil (VCO)

Virgin Coconut Oil (VCO) atau minyak kelapa murni merupakan salah satu produk dari sari pati kelapa yang telah diketahui sangat baik bagi kesehatan. Minyak ini dihasilkan dengan cara memeras buah kelapa segar untuk mendapatkan minyak tanpa dimasak. Keuntungan proses ini adalah minyak yang diperoleh dapat tahan sampai 2 tahun tanpa menjadi tengik. Kandungan VCO yang hampir 50% mengandung asam laurat (C-12) menyebabkan efek kesehatan dari VCO hampir sama dengan air susu ibu (ASI). Hal ini dikarenakan asam laurat dalam tubuh manusia akan diubah menjadi monolaurin. Monolaurin sendiri bersifat sebagai antivirus, antibakteri dan antiprotozoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa monolaurin dapat merusak membran lipid virus diantaranya virus HIV, influenza, Hepatitis C, dan cytomelagovirus.

Biodiesel Kelapa

Pemanfaatan kelapa yang juga tidak kalah menariknya adalah sebagai bahan baku biodiesel. Dari penelitian oleh Mahasiswa dari Brigham Young University, untuk mendapat kan 1 liter biodiesel diperlukan 10 buah kelapa dengan produk sampingnya berupa glycerin. Glycerin ini selanjutnya dapat digunakan untuk bahan dasar pembuatan sabun. Untuk di Indonesia, pengkajian pembuatan biodiesel dari kelapa telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Departemen Perindustrian. Dalam pengkajian tersebut diketahui bahwa kelapa dapat digunakan sebagai alternatif pengganti solar (coco diesel). I liter solar dalam coco diesel ini dapat diperoleh dari pengolahan 6 butir kelapa. Uji coba coco diesel ini juga telah diujicobakan pada kendaraan Mitsubishi dan mencapai jarak sampai 20 ribu km nonstop, dan dinyatakan lulus uji. Saat diadakan uji ketahanan (performance) kendaraan hanya mengalami turun daya 4%.

Kelapa sebagai Adsorben

Di kalangan kimiawan dan pakar lingkungan hidup, kelapa juga dapat didayagunakan sebagai adsorben/penyerap. Untuk polutan yang masuk ke tubuh manusia seperti keracunan pestisida ataupun kation logam seperti Pb, Hg, Cd, dan sebagainya, air kelapa sangat dianjurkan untuk diminum. Hal ini dikarenakan air kelapa dapat menetralkan racun sebagaimana susu.

Untuk polutan yang masuk ke lingkungan hidup, bagian dari sabut dan tempurung kelapa sangat potensial didayagunakan sebagai adsorben terutama untuk polutan logam berat yang sangat berbahaya bagi manusia. Sebagai contoh untuk masyarakat yang air minumnya bergantung pada air sumur dapat memanfaatkan matras sabut kelapa yang telah dicelup pada zat pewarna wantex untuk menyerap logam berat Mangan (Mn) dengan hasil 1 gr matras-wantex dapat menyerap 4,69 mg Mn.

Dari penelitian lain di Universitas Lampung menyebutkan arang tempurung kelapa juga mempunyai kemampuan untuk menyerap logam berat Pb, Fe, dan Cu.

Adsorben Pb Fe Cu
1 Kg Arang Tempurung Kelapa 35,8 mg 15,5 mg 13,8 mg
1 Kg Arang Tempurung Kelapa (Aktivasi) 56,3 mg 43,8 mg 39,9 mg
1 Kg Arang Tempurung Kelapa (Aktivasi + ZnCl2) 72,3 mg 36,1 mg 52,7 mg

Sumber: Hardoko IQ (2006)

Dari tabel di atas secara umum diketahui bahwa arang tempurung kelapa yang paling efektif untuk menyerap logam berat adalah arang yang telah diaktivasi dan ditambahkan ZnCl2. Selain untuk logam berat, arang tempurung kelapa juga baik diterapkan dalam pengolahan limbah air industri dan dalam pengolahan emas.

Produk Minyak Goreng

Minyak goreng dari kelapa berdasarkan kajian ilmiah adalah minyak goreng yang paling aman dan paling sehat. Kandungan asam lemak rantai sedang (middle chain fatty acid/MCFA) yang mencapai 92% adalah paling tinggi dibandingkan minyak sayur lainnya. MCFA ini dalam tubuh langsung diserap oleh dinding usus tanpa melalui proses hidrolisis ataupun enzimatik terlebih dahulu. Keuntungan lainnya adalah jika minyak kelapa digunakan untuk menggoreng, struktur kimianya tidak akan berubah sama sekali karena 92% jenis asam lemaknya sudah dalam bentuk lemak jenuh. Sedangkan untuk minyak sayur lainnya, apabila digunakan untuk mengoreng, maka akan menjadi kental karena terjadi proses polimerisasi (pengumpalan). Disamping itu minyak kelapa juga tidak menghasilkan trans fatty acid dan radikal bebas yang bersifat toksik (racun) dan karsigonik (penyebab kanker).

Produk Sabun

Glycerin merupakan produk samping dari kelapa. Glycerin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Glycerin dalam industri dijadikan sebagai bahan baku pembuatan sabun. Karena sifatnya sebagai humektan, sehingga glycerin dalam sabun berfungsi sebagai pelembab kulit. Dalam skala rumah tangga, sabun dapat dibuat sendiri dengan bahan-bahan yang Terjangkau dan dapat diperoleh di toko-toko bahan kimia.

Serat Sabut Kelapa

Sabut kelapa merupakan bagian terbesar dari buah kelapa yaitu 35% dari bobot buah kelapa. Sabut kelapa jika diolah dengan baik akan menghasilkan serat sabut kelapa. Karena sifat fisika dan kimia serat yang dimiliki oleh sabut kelapa ini, sehingga membuat bahan baku alamiah ini mulai dimanfaatkan sebagai bahan baku industri karpet, jok, dashboard kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Pemanfaatan sabut kelapa lain yang tidak kalah menarik adalah sebagai coco peat yaitu sabut kelapa yang diolah menjadi butiran-butiran gabus sabut kelapa. Coco peatcoco peat dapat digunakan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan tanaman hortikultura dan media tanaman rumah kaca. dapat menahan kandungan air dan unsur kimia pupuk, serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut, sehingga

Briket Arang Tempurung Kelapa

Dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji baru-baru ini, menyebabkan masyarakat harus mencari sumber energi alternatif lain yang jauh lebih murah. Untuk tujuan ini, briket arang dari tempurung kelapa layak untuk diperhitungkan. Briket arang sangat potensial sebagai penganti minyak tanah dan gas elpiji sekaligus juga sebagai pengganti briket batubara, dikarenakan secara teknis, briket arang mudah dibuat, tidak memerlukan teknologi tinggi dan yang paling utama harganya jauh lebih murah.

Produk Makanan dan Minuman

Produk makanan dan minuman dari kelapa sangatlah beraneka ragam diantaranya nata de coconata de coco, terdapat juga produk cuka, sirup, kecap, dan minuman berenergi dari sari buah kelapa. yaitu krim yang berasal dari air kelapa yang terbentuk dari aktivitas fermentasi gula oleh bakteri acetobacter. Hasil fermentasi bakteri ini akan membentuk gel pada permukaan larutan air kelapa. Selain

Selain dalam bentuk produk olahan tersebut, kelapa juga dapat dinikmati dalam bentuk kelapa segar seperti es kelapa muda. Untuk anda yang tertarik dalam berbisnis kelapa muda, banyak metode pengawetan kelapa muda yang telah dikembangkan. Salah satu metodenya adalah dengan merendam buah kelapa muda dalam larutan antioksidan dan anti jamur, sehingga dapat awet selama 4 minggu tanpa berkurang mutunya. Dengan pengemasan yang baik, produk ini dapat dijual ke hotel-hotel ataupun tempat-tempat kunjungan wisatawan.

Penutup

Sebenarnya masih banyak produk-poduk bermutu lainnya dari kelapa yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut dalam artikel ini karena berbagai keterbatasan. Sebut saja pemanfaatan kelapa sebagai bahan baku kosmetik, kopra putih, pernak-pernik barang seni, bahan pembuatan shampoo, margarin, karbon aktif, bahan baku obat-obatan, dan lain sebagainya. Karena begitu ragamnya manfaat dari kelapa ini, maka tidaklah mengherankan jika kelapa mendapat julukan sebagai pohon kehidupan (the tree of life).

Dengan menilik pada potensialnya pengembangan kelapa ini di Indonesia. Seyogyainya komoditas agroindustri ini mendapat perhatian lebih dan menjadi komoditas andalan Indonesia. Tidak ada salahnya jika saat ini kita tidak mengikuti pasaran dunia yang cenderung ke minyak sawit, tetapi membuat pasar sendiri, sehingga diharapkan beberapa tahun kedepan dengan kualitas dan kuantitas dari produk kelapa yang terus meningkat, akan membuat bangsa Indonesia membuat trend baru di dunia, yaitu beralih ekspor dan impor ke produk kelapa dan turunannya.

Pustaka

  • Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (Balitka) Manado. 2007. Membangun Agribisnis Kelapa Muda. KADIN-104-1606-13032007.
  • Bogor Agricultural Institute. 2008. IPB Kaji Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Disinfektan dan Pengganti Formalin. http://www.ipb.ac.id.
  • Dayat. 2006. Kerjasama Dekopin dengan Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu dalam Rangka Produksi Pengganti Pengawet Makanan. http://www.hmikomtpub.or.id
  • Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menegah-Departemen Perindustrian. 2007. Kelapa sumber Energi Alternatif. Situs Web Ditjen IKM.
  • Direktorat Jenderal Perkebunan-Departemen Pertanian. 2008. Gambar Kelapa dan Produknya. Situs Web Ditjebun-Deptan
  • Hardoko Insan Qudus. 2006. Kimia Lingkungan. Diktat Kuliah Kimia Lingkungan Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung.
  • Iwan T Budiarso. 2004. Minyak Kelapa, Minyak Goreng yang Paling Aman dan Paling Sehat. http://www.wismamas.tk
  • Kompas Cyber Media. 2006. Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Pengganti Formalin. Situs Web Kompas Cyber Media.
  • Radar Pat Petulai. 2008. Optimalisasi Produk Buah Kelapa. Harian Radar Pat Petulai Bengkulu Edisi Rabu, 13 Agustus 2008.
  • Rita Sekianti. 2007. Analisis Teknik dan Finansial pada Produk Bahan Bakar Briket dari Cangkang Kelapa Sawit. Skripsi Mahasiswa Universitas Sriwijaya Risti. 2008. Sabut Kelapa. http://milimeterindonesia.com
  • Risti. 2008. Sabut Kelapa. http://milimeterindonesia.com
  • Situs Hijau. 2005. Menanti Minuman Berenergi dari Timur. Situs Web Situs Hijau.
  • Suara Pembaharuan Daily. 2007. Indonesia Masih Abaikan Potensi Kelapa. Situs Web Suara Pembaharuan Daily
  • Surya Adi dkk. 2008. Limbah Perkebunan Kelapa (Cocos Nucifera) sebagai Bahan Pengawet Makanan. Karya Tulis Ilmiah in Internet.
  • Energi Portal. 2007. Memperoleh Nilai Ekonomis Lebih dari Kelapa: Biodiesel, Glycerin, dan Produk Samping Lainnya. Situs Web Portal Media Informasi Energi
(dikutip dari: Sinly Evan Putra, http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=51)

Lompatan Teknologi Penyimpanan Gas Hidrogen

Menjalankan mobil dengan fuel cell (alat pembangkit listrik dari reaksi kimia) berbahan bakar hidrogen mungkin akan menjadi sangat umum di masa mendatang. Tetapi untuk saat ini, teknologi tersebut masih berupa konsep di atas kertas. Hal itu dikarenakan keterbatasan teknologi penyimpanan gas hidrogen dalam jumlah besar yang aman dan praktis yang dapat dibawa oleh kendaraan. (Penyimpanan dengan tekanan tinggi dalam tabung dinilai tidak aman sehingga salah satu jalan keluarnya adalah dengan menyimpan hidrogen pada bahan penjerap khusus yang beroperasi pada tekanan rendah).

Tiga jurnal yang dipublikasikan dalam Journal of the American Chemical Society melaporkan suatu lompatan besar dalam penyimpanan hidrogen berupa pembuktian mengenai kuatnya perekatan H2 pada permukaan terbuka atom logam dalam struktur logam-organik nanoporousMetal-Organic Framework). Kemampuan dari H2 untuk melekat pada atom logam dengan baik memungkinkan molekul hidrogen dapat tersusun lebih padat yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas penyimpanan dibandingkan dengan penyerapan hidrogen pada material penjerap non-logam yang dikembangkan sebelumnya. (bahan berpori dengan ukuran pori nanometer) yang disebut MOF (

Sumber: Cameron Kepert

Hasil simulasi dari susunan molekul hidrogen (digambarkan dengan bola-bola) yang memenuhi permukaan penjerapan pada MOF dari tembaga.

Jeffry R Long dari Universitas California, Berkeley dan timnya telah berhasil mensintesa Mangan Benzentristetrazolat MOF dengan kapasitas penyimpanan H2 sekitar 6,9 % berat atau 60g/L pada suhu 77 K dan tekanan 90 bar (J. Am. Chem. Soc. 2006, 128, 16876). Kapasitas ini merupakan kapasitas terbesar saat ini untuk bahan MOF dan merupakan bahan yang pertama kali melampaui kapasitas yang ditargetkan oleh Departemen Energi Amerika Serikat yang mencanangkan pada tahun 2010 dapat menyimpan hidrogen dengan kapasitas 6.0 % dan 45 g/L (J. Am. Chem. Soc. 2006, 128, 16876).

Sementara itu Cameron J Kepert dari Universitas Sydney Australia dan timnya telah mengembangkan tembaga bensentrikaboksilat MOF, kemudian dengan alat neutron powder diffraction mereka mempelajari penjerapan deuterium (D2) pada bahan tersebut (J. Am. Chem. Soc. 2006, 128, 15578). Data percobaan mengungkapkan ada enam lokasi penjerapan terpisah dari D2 dalam struktur MOF, yang pertama terisi adalah lokasi sekitar atom tembaga, kemudian diikuti dengan lokasi sekitar atom non-logam berpori pori kecil, kemudian barulah lokasi berpori besar. Studi ini kata Kepert berhasil mengungkapkan bagaimana langkah tahapan pemasukan D2 kedalam struktur MOF yang diilustrasikan dalam gambar di atas yang membuktikan adanya atom logam dapat menguntungkan penjerapan molekul gas.

Sebenarnya, kekurangan dari penyimpanan H2 dalam struktur MOF adalah lemahnya interaksi atau tarik - menarik antara H2 dengan dinding pori dari MOF. Sehingga para peneliti sekarang berusaha untuk mengatasinya dengan dua cara untuk memperbesar kapasitas penyimpanan yaitu dengan menambah luas permukaan penjerapan dalam MOF atau dengan cara seperti yang dilakukan peneliti diatas yaitu meperkuat pelekatan dari H2 sehingga semakin banyak molekul gas yang bisa disimpan.

(dikutip dari: Chandra Wahyu Purnomo, Dosen Kimia FT Kimia UGM, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=221)

Resiko Toksik pada Air Botol?

Peneliti geokimia di Jerman mengklaim bahwa botol-botol plastik secara terus menerus melepaskan unsur antimonium (Sb) ke dalam air minum.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Bill Shotyk di University of Heidelberg menguji air-air yang dikemas dalam botol di daerah yang sama di Canada.

Air yang dikemas dalam botol polietilen tereftalat (PET) mengandung hingga 375 ppt antimonium, sedangkan air dalam botol polipropilen mengandung hanya 8,2 ppt antimonium. Tiga bulan kemudian, air dalam botol PET mengandung hingga 626 ppt antimonium. PET dibuat dengan menggunakan katalis antimonium.

Kelompok peneliti Shotyk menguji air tanah yang berasal dari daerah yang sama di Canada, dengan menggunakan alat penganalisis biji es yang sangat sensitif. Kadar antimonium yang mereka temukan sangat rendah (2 ppt). Laporan-laporan terdahulu melaporkan kandungan rata-rata 300 ppt.

"Saya tidak yakin berapa banyak lab di luar sana yang benar-benar bisa mengukur berapa banyak antimonium yang terdapat dalam air tanah, kebanyakan orang memiliki batas deteksi yang jauh di atas nilai alami pada air tanah," kata Shotyk.

Kadar antimonium dalam air botol yang diteliti ini lebih rendah dari kadar pengkontaminasi maksimum yang dianjurkan oleh EPA Amerika Serikat, yakni 6 bagian per juta. Shotyk lebih khawatir bahwa antimonium terus menerus terlepas ke dalam air dalam kemasan botol. "Yang ingin saya tunjukkan bukan bahwa air-air botol ini terkontaminasi oleh antimonium," kata dia, "tetapi hal yang penting adalah bahwa antimonium secara terus menerus dilepaskan dari botol ke dalam air".

David Coggan, seorang ahli epidemiologi dari unit epidemiologi lingkungan MRC di Southampton, Inggris, menunjukkan sikap yang berhati-hati dalam menanggapi temuan ini. Hasil yang ditunjukkan oleh Shotyk masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut sebelum implikasi kesehatannya bisa dibahas, kata dia, sebagian karena masih sedikit yang diketahui tentang toksisitas antimonium. "Penting untuk memikirkan tentang rentang dosis berapa yang akan didapatkan oleh orang yang meminum air tersebut," kata Coggan. Meski demikian, Shotyk yang menemukan temuan ini tidak lagi meminum air yang dikemas dalam botol-botol PET.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=222)

Mengidentifikasi Jenis Atom di Permukaan Bahan

Jika anda ditutup mata anda, kemudian kepada anda diberikan bola-bola dari bahan yang berbeda misalnya kaca, stirofom dan plastik di atas sebuah nampan, bisakah anda membedakan bola-bola tersebut tiap jenisnya dengan menyentuhnya? Tentulah dengan mudah semua orang akan bisa melakukannya.

Jika analogi kejadian seperti diatas dibawa ke skala nano seperti membedakan atom yang berbeda di suatu permukaan benda tentunya akan menjadi tugas yang tidak mudah. Tetapi sekarang hal itu menjadi mungkin dan dapat dilakukan pada suhu kamar dengan adanya alat "sentuh" atom yang luar biasa yang disebut atomic force microscope (AFM).

Atomic force microscopy sekarang dengan teknik baru dapat mengidentifikasi pemukaan atom dari suatu aloy: silika (merah), timah (biru) dan timbale (hijau)

Para ilmuwan menggunakan AFM untuk memotret dan memanipulasi atom dan struktur pada berbagai permukaan benda. Untuk fungsi pemotretan atom, permukaan bahan diraba dengan ujung runcing sensor yang dapat bergetar yang terhubung dengan lengan yang fleksibel. Atom pada ujung runcing tersebut mampu "merasakan" tiap atom di permukaan bahan ketika atom di ujung sensor tersebut mendekati atom di permukaan dan mengalami gaya akibat interaksi kimiawi dengan atom-atom di permukaan. Karena interaksi kimia tersebut akan mengubah frekuensi getaran dari sensor, sehingga perubahan tersebut dapat disajikan dalam bentuk peta atom di permukaan.

Skema dan prinsip kerja AFM

Ilmuan fisika, Oscar Custance di Osaka University's Graduate School of Engineering Jepang dan timnya sekarang sedang memanfaatkan gaya yang timbul antar ujung AFM dengan atom di permukaan untuk membedakan antara atom silikon, timah dan timbal pada permukaan campuran logam (aloy).

Cara yang mereka gunakan adalah mengukur dengan akurat gaya yang timbul untuk masing-masing atom pada permukaan ketika ujung AFM didekatkan. Ujung AFM akan berinteraksi dengan kuat dengan atom Silika, namun tidak begitu kuat jika mendekati atom lainnya. Sehingga perbedaan kekuatan tadi bisa berfungsi seperti "sidik jari" dari masing-masing atom yang unik untuk membedakan satu jenis atom dengan lainnya di permukaan tersebut. Pengidentifikasian atom ini tentunya tidak bisa hanya dengan pemotretan biasa yang menghasilkan gambar monokrom.

Ilmuwan sebelumnya memakai AFM untuk mengidentifikasi unsur kimia yang ada di permukaan bahan tetapi pada suhu yang sangat rendah (kriogenik) tidak pada suhu kamar. Alexander Shluger, seorang fisikawan di London Centre for Nanotechnology and University College London, mengatakan bahwa pencapaian ini dapat memberikan dapak yang hebat pada bidang surface science, catalysis, dan berbagai area lainnya, serta menginspirasi group riset yang lain untuk menerapkan metode yang sama.

(dikutip dari: Chandra Wahyu Purnomo, Dosen Kimia FT Kimia UGM, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=223)

Pendeteksian fluoride dengan mata telanjang

Sebuah sensor efektif untuk pendeteksian fluoride dalam air dengan penglihatan telah dikembangkan oleh kimiawan di Cina.

Chun-ying Duan, Zhi-ping Bai dan rekan-rekannya di State Key Laboratory of Coordination Chemistry, Nanjing, telah membuat sebuah senyawa ruthenium yang berubah warna dari orange menjadi biru-ungu ketika terikat dengan sebuah anion fluoride.

Sistem ini mengandung sebuah segmen bipyridin ruthenium fotoaktif yang meningkatkan pengikatan ke anion fluoride melalui interaksi elektrostatis. Ini menimbulkan perubahan warna dramatis yang bisa diamati dengan mata telanjang.

Sekarang ini telah banyak sistem komersial untuk pendeteksian fluoride yang sederhana dan murah. Fluoride telah memiliki peranan dalam mencegah kerusakan gigi dan sekarang ini sedang diteliti sebagai sebuah pengobatan untuk osteoporosis. Akan tetapi, keterpaparan berlebihan juga bisa menyebabkan fluorosis, salah satu jenis toksisitas fluoride yang bisa mengarah pada berlubangnya email gigi dan perubahan warna. Sampai sekarang ini, belum ada senyawa yang memberikan output yang dapat diukur ketika terikat dengan anion fluoride.

Sensor yang ditemukan ini bisa dibuat sebagai sebuah kertas-uji, mirip dengan kertas pH, dan tidak diperlukan instrumentasi spektroskopi. Sensor ini sangat selektif dan bisa mendeteksi fluoride dalam larutan berair pada batas terendah sekitar 10 ppm.

Duan dan Bai berharap agar sensor yang murah dan baru serta efektif ini benar-benar bermanfaat dalam membantu mencegah fluorosis di daerah-daerah terbelakang.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=224)

Sabtu, 22 November 2008

Restorasi Gigi dengan Nanopartikel

Ilmuwan di Cina telah menemukan sebuah cara baru untuk membantu para pemilik gigi berkaries agar dapat tersenyum sempurna kembali, dengan menggunakan nanopartikel untuk merestorasi email gigi yang rusak.

Ruikang Tang di Universitas Zhejiang dan rekan-rekannya menemukan bahwa nanopartikel yang terbuat dari hidroksipatit (HAP), sebuah mineral yang merupakan komponen utama email gigi, terserap sangat kuat ke dalam permukaan email gigi alami - sehingga berpotensi memungkinkan gigi yang berkaries direstorasi dan diperkuat.

Tang menjelaskan bahwa sampai sekarang para dokter gigi kesulitan untuk memahami mengapa hidroksipatit sintetik tidak dapat dijadikan alternatif yang baik untuk merestorasi email gigi, tetapi sekarang mereka sudah dapat menemukan jawabannya.

Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, Tang dan rekan-rekannya menggunakan partikel-partikel yang jauh lebih kecil, yang mereka katakan mirip dengan ukuran satuan pembentuk email gigi. Karakteristik dari nanopartikel HAP yang berukuran 20 nm ini mungkin lebih mirip dengan karakteristik hidroksipatit alami dibanding karakteristik partikel-partikel HAP lebih besar yang biasanya digunakan, papar Tang.

George Nancollas, profesor biologi mulut di Universitas Buffalo Amerika Serikat, menjelaskan bahwa penelitian dengan nanopartikel HAP ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan menarik untuk remineralisasi email gigi yang berkaries. "Restorasi kekerasan email dengan menggunakan sebuah metode in vitro merupakan hasil yang sangat penting. Yang menjadi tantangan ke depan adalah bagaimana mengontrol kinetika proses dan bagaimana mencapai hasil yang konsisten."

Untuk membuktikan efek-efek yang diamati dengan nanopartikel HAP secara in vitro, Tang mengatakan mereka perlu memperluas penelitian mereka pada kondisi yang sebenarnya. "Kami juga tertarik menggunakan nanopartikel ini untuk merestorasi jaringan keras apatit lainnya seperti tulang" kata dia.

Klaus Jandt, seorang ahli dalam penelitian biomaterial di Universitas Friedrich Schiller Jena di Jerman, setuju dengan temuan ini. "Penelitian tentang restorasi email gigi yang berkaries penting dan memiliki relevansi tinggi. Kedepannya sangat penting untuk menunjukkan potensi restorasi email gigi pada kondisi sebenarnya dan bahwa email gigi yang direstorasi tersebut stabil secara mekanik".

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=169)

Sel Buatan yang Menemukan Lokasi Penyakit dalam Tubuh

Ilmuwan di Amerika Serikat telah membuat sebuah sel buatan yang bisa menemukan tempat-tempat penyakit dalam tubuh .

Daniel Hammer dan rekan-rekannya di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, dan Universitas Minnesota, Minneapolis, mengatakan mereka bisa merekayasa sel tersebut untuk melepaskan kandungannya berdasarkan isyarat, sehingga memungkinkannya untuk menyalurkan obat secara langsung ke tempat-tempat penyakit. Pendekatan ini bisa bermanfaat dalam mengobati penyakit seperti kanker, klaim mereka.

Sel buatan tersebut, yang dikenal sebagai leuko-polimersom, terbuat dari polimer-polimer yang bisa merakit diri sendiri menjadi vesikula-vesikula yang dapat digunakan untuk penyaluran obat. Polimersom sebelumnya telah digunakan dengan cara seperti ini tetapi Hammer kali ini telah mengembangkan sebuah cara untuk membuat sel ini berperilaku seperti sel-sel darah putih. Ini memungkinkan sel-sel buatan tersebut mengalir dengan cepat dan mudah dalam pembuluh-pembuluh darah tubuh.

Leuko-polimersom bisa mengapsul obat dan menyalurkannya ke lokasi penyakit

"Setelah ditemukannya polimersom, tampaknya memungkinkan untuk membuat sebuah sel darah putih buatan dari polimersom ini karena ada begitu banyak cara yang dapat digunakan untuk merekayasa sifat-sifat mekanik dan karakteristik pelepasan dari polimersom," kata Hammer.

Hammer dan timnya sekarang ini berencana menggunakan tipe-tipe ligan berbeda pada permukaan polimersom untuk menargetkan lokasi-lokasi berbeda dalam tubuh. "Leuko-polimersom dirancang untuk menargetkan tempat-tempat inflamasi," papar Hammer. "Akan tetapi, dengan ligan yang berbeda, kami berencana untuk membuat partikel-partikel yang bisa menemukan tempat-tempat kanker atau penyakit lainnya."

"Leuko-polimersom merupakan contoh biomimetik yang sangat baik, dan kekuatan serta perlekatan permukaannya yang dapat dimodifikasi telah dibuktikan bermanfaat untuk berbagai pengaplikasian klinis dalam penyaluran obat dan pencitraan medis," komentar Michanel King, seorang ahli teknik biomedik di Universitas Rochester, Amerika Serikat. "Di masa mendatang, polimersom bisa menjadi sebuah satuan pembentuk yang penting dalam bidang biologi sintetik, misalnya memanfaatkan saluran-saluran ion untuk menghasilkan polimersom "cerdas" yang dapat mengindera daerah sekitarnya, atau menampung kargo enzimatik dalam "pabrik-mikro" yang bersirkulasi".

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=170)

Perangkap Logam untuk Menghentikan Alzheimer

Menjebak logam bisa dibuktikan sebagai salah satu metode penting untuk menyembuhkan penyakit Alzheimer, berdasarkan hasil-hasil menjanjikan dari trial-trial klinis yang telah dilakukan pada sebuah senyawa yang disebut PBT2. Obat potensial ini, yang telah dipatenkan oleh perusahaan bioteknologi Australia, Prana, bisa menghambat sebuah reaksi berperantara logam yang menyebabkan amiloid beta, sebuah peptida yang terdiri dari 42 asam amino, berkumpul pada plak-plak dalam otak pasien Alzheimer.

Dalam sebuah trial terkendali-pasebo pada subjek-subjek yang mengalami Alzheimer dini, seperti dipublikasikan dalam Lancent Neurology, mereka yang diberikan 250mg PBT2 sekali sehari jauh lebih baik dalam dua uji fungsi kognitif setelah 12 pekan. Kadar amiloid beta dalam cairan spinal mereka juga lebih rendah.

"Obat ini menargetkan sebuah reaksi antara amiloid beta dan zink dan tembaga ionik yang dilepaskan kedalam sinapsis glutamat [pertemuan antara neuron-neuron] yang dipengaruhi oleh Alzheimer," papar Ashley Bush dari Institut Penelitian Kesehatan Jiwa Victoria di Australia, salah seorang peneliti studi klinis PBT2. "Apabila amiloid beta bereaksi dengan ion-ion tembaga, dia berkumpul menjadi gumpalan dan bisa mengalami reaksi redoks, menghasilkan spesies oksigen reaktif dan radikal.

Craig Ritchie dari Imperial College London di Inggris, seorang spesialis psikiatri yang sekarang menjadi penasehat klinis di Prana, percaya bahwa pengumpulan amiloid beta monomerik ini hanya mungkin dengan adanya ion-ion yang dijebak oleh obat ini. "Ada tempat-tempat ikatan untuk logam-logam tersebut pada amiloid beta monomerik, yang membentuk ikatan-ikatan ditirosin dan menjadi kurang larut jika mereka berkumpul," dia menjelaskan. Kumpulan-kumpulan yang tidak dapat larut ini tetap berada dalam otak dan tampak memegang peranan penting dalam pembentukan plak-plak Alzheimer yang khas.

Bush, Ritchie dan rekan-rekannya telah meneliti hal ini sejak awal tahun 1990an. "Pada awalnya, kami menganggap pengkelat (chelator) logam bisa memiliki beberapa kegunaan," kata Bush. "Tetapi pengkelat ini juga mengusik berbagai sifat kimia ion logam esensial, dan mereka tidak melewati pembatas darah-otak dengan baik. Sehingga tantangan yang ada adalah mencari pengkelat yang kurang kuat."

Mereka memanfaatkan fakta bahwa tempat pengikatan logam normal yang terbentuk pada akumulasi amiloid beta dalam otak bersifat hidrofob, tetapi menjebak logam. Sehingga mereka mencari molekul-molekul ionofor - molekul-molekul terlarut-lipid yang membentuk kompleks dengan ion-ion dan mentransportnya ke dalam membran sel - yang secara selektif menargetkan logam-logam dalam tempat pengikatan hidrofob ini.

Trial-trial awal tentang sebuah antijamur lama, clioquinol, cukup menjanjikan. "PBT2 merupakan sebuah kemajuan yang signifikan," klaim Bush. "Obat ini memiliki perancah (scaffold) 8-hidroksiquinolon yang sama, tetapi kami menghilangkan beberapa elemen yang kami tidak inginkan, seperti atom iodin yang tidak stabil yang juga menimbulkan masalah untuk pembuatan obat dalam skala produksi. PBT2 tidak mengandung iodin, sintesisnya sederhana, dan yang lebih penting, jauh lebih diperkaya dalam otak."

Tim peneliti ini sekarang sedang menyelidiki desain sebuah trial skala-besar, dan Ritchie cukup optimis. "Sejak awal 1990an, yang menjadi fokus kami adalah membuat sebuah obat yang bisa diresepkan oleh dokter, dan sejauh ini saya melihat hal tersebut sangat mungkin," kata dia. "Mudah-mudahan kita dapat mengupayakan perizinan PBT2 ini dalam waktu yang tidak lama lagi."

(dikutip dari Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=171)

Diagnosis Tuberkulosis Lebih Dini

Diagnosis tuberkulosis dengan lebih cepat tidak lama lagi akan terwujud, demikian kata para ilmuwan dari India dan Jepang.

Bansi Malhotra dari National Physical Laboratory di New Delhi, India dan rekan-rekannya telah membuat sebuah alat pendeteksi yang cepat, teliti, dan efisien untuk digunakan.

Menurut WHO, tuberkulosis membunuh hampir 3 juta orang setiap tahun. Pasien mengalami cedera pada paru-paru, tulang dan sistem saraf pusat. Teknik-teknik pendeteksian yang ada sekarang, seperti reaksi rantai polimerase (PCR) dan imunoasai, walaupun sensitif, bisa memerlukan waktu beberapa jam sampai beberapa hari dalam pelaksanaannya dan memerlukan biaya yang mahal. Uji diagnostik yang lebih cepat dan lebih murah mutlak diperlukan, kata Malhotra.

Bakteri penyebab penyakit, M. tuberculosis, bisa dideteksi dalam waktu sekitar 12 menit.

Sensor yang dibuat oleh Malhotra mendeteksi DNA bakteri M. tuberculosis yang menyebabkan penyakit. Apabila sebuah sampel darah yang mengandung bakteri ini melewati sensor, DNA bakteri terikat ke urutan-urutan nukleotida komplementer yang ditempatkan di sebuah permukaan emas. Ini menyebabkan perubahan sifat optik yang bisa dideteksi dengan menggunakan resonansi plasmon muka.

Alat ini sangat sensitif, dia bisa mendeteksi DNA M. tuberculosis tanpa penguatan dengan PCR atau pencucian yang cermat, sehingga mengurangi waktu pendeteksian menjadi hanya sekitar 12 menit. Malhotra mengatakan bahwa tahap selanjutnya adalah membuat sebuah sensor komersial untuk sampel-sampel klinis dan memperkecilnya untuk penggunaan dalam perawatan. Tetapi penelitian ini tidak berhenti sampai disini: "Teknik ini memiliki implikasi untuk diagnosis penyakit-penyakit lain, seperti kolera, dan infeksi-infeksi yang ditularkan secara seksual seperti Neisseria gonorrhoeae," paparnya.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=172)

Basah, Tidak Basah, Basah

Anda bosan sering membersihkan kamar mandi? Atau lelah membersihkan jendela setiap hari? Berkat usaha sekelompok ilmuwan di Israel pekerjaan-pekerjaan yang membosankan ini kemungkinan tidak perlu dilakukan lagi.

Itamar Willner dan rekan-rekannya di Universitas Hebrew Jerussalem telah membuat sebuah "permukaan cerdas" berlapis quinin yang keterbasahan-nya bisa diubah dengan menggunakan sebuah pemicu listrik atau pemicu kimiawi. Permukaan-permukaan seperti ini dibuat dengan terinspirasi oleh sistem-sistem pembersihan-otomatis yang ada di alam. Bunga teratai, misalnya, memiliki permukaan hidrofob yang memungkinkan tetes-tetes air mengalir pada daun, menghilangkan kotoran dari permukaannya.

Willner dan timnya melapisi sebuah permukaan emas dengan benzoquinon hidrofob, yang dapat direduksi menjadi hidroquinon hidrofil dengan menggunakan tegangan listrik atau agen pereduksi kimiawi. Hidroquinon memiliki dua gugus hidroksil yang berinteraksi kuat dengan air, menyebabkan permukaan menjadi "lebih basah" jika tereduksi.

"Permukaan hidroquinon/benzoquinon ini dikembangkan dari sebuah sistem yang jauh lebih kompleks, yang dulunya tidak dapat berfungsi meski telah banyak upaya yang dilakukan. Kami cukup terkejut dengan betapa kuatnya sistem yang sederhana ini dan betapa dramatisnya perubahan yang kami amati," kata Willner.

Permukaan cerdas ini mudah dibuat dan ukuran quinon yang kecil berarti bahwa banyak molekul yang bisa dilapiskan ke permukaan, sehingga menyebabkan perubahan makroskopis yang besar untuk keterbasahan permukaan.

Selain pengaplikasian pembersihan-otomatis, permukaan-permukaan yang cerdas ini juga bisa digunakan pada piranti-piranti mikofluida sehingga bisa memberikan prosedur analitik baru untuk dignostik klinis. Sebagai contoh, jika bagian dalam dari sebuah pembuluh kapiler dilapisi dengan lapisan konduktif yang difungsikan dengan lapisan quinin Willner, pembuluh ini bisa digunakan untuk menyedot cairan dari sel atau organ dalam volume kecil.

"Ide cemerlang untuk membuat sebuah permukaan cerdas," kata Jilie Kong, seorang ahli mikrofluida di Universitas Fudan, Shanghai. "Perubahan kehidrofoban/kehidrofilan yang dapat balik (reversibel) menjanjikan dalam perancangan chip-chip mikrofluida yang baru atau biosensor," kata Kong.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=173)

Membran Baru untuk Efisiensi Desalinasi

Peneliti di Amerika Serikat dan Korea telah membuat sebuah membran yang dapat mengurangi biaya penyaringan garam dari air laut. Membran ini terbuat dari material baru berbasis-polisulfon yang tahan terhadap klorin. Dengan material ini beberapa tahapan desalinasi yang memakan banyak biaya tidak diperlukan lagi.

Proses desalinasi yang paling umum, osomosis terbalik, mendesak air laut melewati membran-membran semi-permeabel untuk menyaring kandungan garamnya. Meski banyak energi yang diperlukan untuk menjalankan pabrik-pabrik desalinasi yang berskala besar, namun tetap tidak dapat menaikkan jumlah persediaan air bersih, sementara di seluruh dunia, lebih dari 1 milyar orang tidak memiliki akses terhadap air yang aman dan bersih.

Salah satu kekurangan dari membran-membran desalinasi yang digunakan sekarang ini adalah penyumbatan membran dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh pertumbuhan alga atau selaput-biologis bakteri. Penambahan klorin membunuh mikroorganisme dalam air tetapi juga merusak membran yang berbasis-poliamida. Jadi klorin biasanya dihilangkan dari air sebelum dilewatkan pada membran dan kemudian ditambahkan kembali ke dalam air setelah melewati membran.

Sebuah membran baru, yang berbasis polisulfon, menjanjikan untuk menjadikan proses yang rumit dan memakan biaya ini tidak diperlukan lagi. "Polisulfon memiliki ketahanan terhadap klorin yang lebih baik dibanding poliamida karena rantai utamanya terdiri dari cincin-cincin aromatik dan ikatan karbon, sulfur dan oksigen yang kuat," papar Ho Bum Park, yang memimpin salah satu tim peneliti di Universitas Ulsan, Korea Selatan. "Dengan demikian, polisulfon tidak mengandung ikatan-ikatan amida yang sensitif terhadap serangan klorin cair." Polisulfon sebelumnya telah digunakan untuk desalinasi, tetapi air tidak mengalir dengan baik melalui material ini. Ini diatasi dengan merubah cara pembuatan polimer ini, kata Benny Freeman, yang memimpin tim peneliti lain di Universitas Texas Austin. "Dulunya, gugus-gugus hidrofil ekstra ditambahkan ke polimer setelah polimerisasi sehingga menempatkan gugus-gugus ini pada posisi yang paling tidak stabil. Sebagai gantinya, kami memadukan gugus-gugus ini kedalam monomer, sehingga ketika polimerisasi terjadi gugus-gugus ini berpadu secara langsung dengan struktur polimer."

Ho Bum Park sedang memegang dua sampel membran desalinasi yang tahan klorin.

Polimer yang baru ini telah dipatenkan oleh tim peneliti ini dan Freeman berharap material ini akan memiliki kegunaan dan dikomersialkan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan.

"Membran yang sangat tahan terhadap klorin ini dapat menghilangkan tahapan-tahapan proses yang memakan banyak biaya dan secara signifikan meningkatkan daya tahan membran yang digunakan dalam desalinasi," kata Ian Lomax, Manajer Proyek Besar di Dow Water Solutions.

Solusi alami

Tetapi masih banyak penelitian yang diperlukan jika desalinasi berbasis-membran diharapkan untuk mengatasi kekurangan persediaan air secara global. Pengoperasian pabrik-pabrik desalinasi berbasis-membran yang berskala besar terlalu mahal bagi kebanyakan negara berkembang. (Kebanyakan pabrik desalinasi yang ada sekarang ini dibuat di dekat pembangkit listrik di daerah pantai, sehingga memanfaatkan kelebihan energi dan panas limbah). Untuk negara-negara maju, manfaat desalinasi harus lebih besar dibanding emisi bahan-bakar fosil yang ditimbulkan.

Peningkatan efisiensi membran merupakan kunci untuk mengurangi biaya desalinasi dan imbas bahan bakar fosil, kata Thomas Mayer, yang bekerja di Laboratorium Nasional Sandia di Albuquerque, US. Tim Mayer berencana untuk mencapai efisiensi ini dengan meniru proses yang digunakan oleh sistem-sistem alami. "Ginjal manusia misalnya, menggunakan membran-membran yang dapat menyaring garam sekitar 100 kali lebih efisien dibanding membran-membran sintetik," kata dia. "Jika kita dapat mereplikasi membran ini, akan sangat efektif."

Jika membran mencapai efisiensi yang cukup bagus, maka membran-membran desalinasi bahkan bisa dipadukan ke dalam sistem-sistem filtrasi yang dioperasikan langsung oleh manusia, seperti "LifeStraw" yang dikembangkan oleh Vestergaard Frandsen. Alat sedotan yang sederhana ini mengandung sebuah membran yang menyaring mikroorganisme-mikroorganisme dari air dan dihisap langsung oleh manusia untuk mengoperasikannya - walaupun salah seorang juru bicara dari perusahaan tersebut mengatakan kepada Chemistry World bahwa belum ada rencana untuk membuat "sedotan" desalinasi seperti ini dalam waktu dekat.

Saat ini, sistem-sistem osmosis terbalik merupakan cara yang paling efektif untuk melakukan desalinasi dalam skala besar, tetapi pengembangan sedang dilakukan untuk efisiensi menggunakan teknologi-teknologi lain seperti distilasi termal atau proses evaporasi. Lomax menambahkan, sehingga proses-proses membran akan mengalami kompetisi nantinya.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=174)

Robot Bisa Berkulit Seperti Manusia

Bahan konduktor elastis yang dipadukan dengan transistor organik telah digunakan oleh ilmuwan di Jepang untuk membuat material-material elektornik yang dapat diregangkan. Mereka mengatakan teknik yang sama bisa digunakan untuk mengurangi biaya material pada struktur-struktur luar alat elektronik yang fleksibel, serta untuk menghasilkan kulit buatan bagi robot dan permukaan-permukaan cerdas yang memungkinkan manusia dan mesin berinteraksi.

Dengan dimpimpin oleh Takao Someya, sebuah tim di Universitas Tokyo menanam tabung-nano karbon dalam sebuah matriks polimer untuk menghasilkan elastomer pertama yang sangat konduktif dan stabil secara kimiawi. "Tabung-nano karbon kadang-kadang digunakan untuk meningkatkan kekakuan sebuah material. Ini sangat berlawanan dengan material yang kami buat ini," kata Someya.

Material yang elastis ini dibuat dari "bucky gel", sebuah pasta hitam yang dibuat dengan melumatkan tabung-nano menggunakan cairan ionik (1-butil-3-metilimidazolium bis[trifluorometanasulfonil]imida). Proses pelumatan mencegah tabung-nano saling lengket dalam kumpulan besar, sehingga membantu mengurangi kekakuan.

Setelah digabungkan dengan sebuah kopolimer fluorinasi, yang menyebabkan material menjadi elastis, gel ini dituangkan dan dikeringkan. Film yang dihasilkan kemudian dilapisi dengan karet silikon untuk membentuk sebuah konduktor yang elastis. Material bisa dibuatkan lubang-lubang kecil untuk lebih meningkatkan keelastisannya, atau ditancapkan transistor organik di atasnya untuk membuat helaian aktif-elektronik yang bisa tahan terhadap peregangan sampai sekitar 70 persen tanpa adanya imbas terhadap kinerja elektronik-nya.

Matriks transistor yang dapat diregangkan (kiri) dan konduktor elastis (kanan)

Para peneliti ini menggunakan printer berskala-kecil untuk membuat sebuah prototipe berukuran 20cm yang menunjukkan kelayakan dan efektifitas biaya dari pendekatan yang mereka gunakan. Someya menganggap proses ini bisa ditingkatkan menjadi skala industri dengan mudah. "Saya tidak melihat ada masalah dalam pembuatan sirkuit-sirkuit terintegrasi yang jauh lebih besar dengan menggunakan konduktor-konduktor elastis ini," kata dia.

Akan tetapi, tim Someya berharap dapat mencapai lebih dari sekedar material elastis yang murah dan berskala besar. Mereka yakin material yang dibuat ini bisa digunakan pada barang-barang elektronik yang dapat dikenakan, atau bahkan kulit buatan untuk robot-robot tiruan manusia - "kulit" tersebut, misalnya, berkerut dan meregang untuk memungkinkan pergerakan sendi siku. Someya mengatakan elektronika yang dapat diregangkan juga akan menjadi penting pada interfase manusia-mesin di masa mendatang, dimana elastomer-elastomer konduktif bisa digunakan untuk mengendalikan rasa sentuh dari sebuah permukaan yang fleksibel.

"Peneliti ini telah mencapai tipe material komposit inovatif yang bisa menghantarkan listrik bahkan jika diregangkan sampai menjadi tegang," kata John Rogers, seorang ahli nanofabrikasi di Universitas Illinois, Urbana-Champaign, US. "Menariknya, mereka juga dapat menunjukkan bahwa konduktor-konduktor seperti ini bisa diintegrasikan dengan transistor organik untuk menghasilkan jenis matriks elektronik yang dapat diregangkan."

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=175)

Antibodi Rekayasa Bisa Mengurangi Risiko Kemoterapi

Dengan percobaan pada hewan ilmuwan di Amerika Serikat telah menemukan bahwa efek samping pengobatan kanker dapat dikurangi dengan mengontrol secara cermat jumlah molekul obat yang terikat ke antibodi-antibodi yang digunakan untuk kemoterapi.

Antibodi-antibodi bisa direkayasa agar terikat ke molekul tertentu atau "antigen" pada permukaan sel-sel kanker, sehingga obat yang melekat padanya bisa disalurkan secara langsung ke tumor.

Sekarang ini, sebuah tim yang dipimpin oleh William Mallet dan Jagath Junutula di sebuah perusahaan bioteknologi Genetech di California telah menemukan sebuah cara baru untuk mengikatkan obat-obat antikanker ke tempat-tempat tertentu pada antibodi. Sebelumnya, para ilmuwan mengikatkan obat ke antibodi melalui asam-asam amino konstituennya - biasanya lisin atau sistein.

Tetapi pendekatan ini berarti bahwa terdapat variasi tempat dan cara molekul terikat ke antibodi - sehingga menyulitkan untuk mengukur dosis tepat yang harus diberikan kepada pasien. Antibodi-antibodi yang membawa banyak molekul obat telah diketahui tidak lebih efektif dalam mengobati kanker tetapi bisa menyebabkan lebih banyak efek samping pada pasien.

Skema proses reduksi dan oksidasi yang digunakan untuk mereaktivasi THIOMABs dan konyugasinya ke obat.

Teknik baru yang ditemukan dapat memastikan bahwa obat-obat antikanker terikat ke antibodi pada tempat dan jumlah yang pasti. Para ilmuwan ini menambahkan dua residu asam amino sistein yang baru kedalam antibodi - yang mereka sebut sebagai THIOMABs - dan mengkonyugasikan obat ke asam-asam amino yang baru ini, bukan ke asam-asam amino yang terdapat secara alami.

Sistein yang direkayasa tidak bisa langsung digunakan untuk mengikat molekul obat karena mereka terkunci dalam ikatan-ikatan disulfida dengan sistein bebas (terdapat dalam medium kultur, atau glutation, yang secara alami dihasilkan oleh sel-sel yang mengekspresikan antibodi THIOMAB). Untuk mengatasi masalah ini, mereka terlebih dahulu menambahkan sebuah agen pereduksi untuk memutus ikatan-ikatan disulfida tersebut, sehingga membuka gugus tiol fungsional dari sistein. Karena penambahan agen pereduksi ini juga memutus ikatan-ikatan disulfida yang terbentuk secara alami dalam antibodi, maka mereka selanjutnya harus mengoksidasi ulang antibodi untuk mereperasinya. Proses ini tinggal menyisakan gugus tiol dari sistein rekayasa untuk konyugasi, sehingga obat akan terikat ke gugus tiol ini.

"Pendekatan yang baru ini bisa menjadi sebuah cara untuk menghasilkan konjugat obat yang memiliki indeks terapeutik bertambah", kata Mallet. Konjugat THIOMAB sama efektifnya dengan konjugat antibodi sebelumnya dalam mengobati kanker pada mencit tetapi dosis obat hanya sekitar setengah dari yang sebelumnya.

Pendekatan ini bisa digunakan dengan berbagai konjugat berbeda, karena molekul yang menghubungkan konjugat ke sistein membentuk sebuah ikatan tioleter. "Beberapa hal penting dari penelitian ini adalah bahwa mereka telah menggabungkan sebuah obat potensial sedemikian rupa sehingga teknologi ini bisa digunakan untuk menggabungkan hampir semua, bukan cuma obat - misalnya enzim, toksin, ligan radio-isotop dan obat-obat terapi fotodinami," kata Mahendra Deonarain, kepala laboratorium terapeutik antibodi rekombinan di Imperial College London, Inggris.

David Thurston, profesor penemuan obat antikanker di Center Research Inggris, menganggap penelitian ini sebagai "kemajuan besar" yang akan menghasilkan pengobatan kanker yang lebih efektif. "Pada model hewan, konjugat antibodi-obat yang baru ini lebih efektif dalam membunuh sel-sel kanker dibanding generasi konjugat sebelumnya, dan yang lebih penting lagi, bisa diberikan pada dosis yang lebih tinggi karena kurang toksik," kata dia.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=176)

Penangkapan Hidroksimetilena dalam Matriks Argon Padat

Dalam sebuah perkembangan fundamental yang penting, pemburu molekul telah menambahkan satu lagi ke dalam daftar molekul yang telah berhasil diisolasi diantara sekian banyak koleksi senyawa efemeral yang telah ada. Untuk pertama kalinya, para kimiawan telah berhasil untuk menangkap dan mempelajari singlet karbena hidroksimetilen yang 'licin'. (Nature 2008, 453, 906).

Perburuan terhadap hidroksimetilen, atau HCOH, telah menjadi perburuan yang membingungkan. Studi teoritis mengindikasikan bahwa molekul ini cukup stabil untuk diisolasi, namun hingga kini semua usaha untuk menangkap karbena mengalami kegagalan.

Untuk menyingkirkan karbena yang lain, para peneliti yang dikepalai oleh Peter R. Schreiner dari Justus Liebig University, Jerman dan Wesley D. Allen dari Univeristy of Georgia, pertama-tama memanaskan asam glioksalat dalam kondisi vakum tinggi. Didalam kondisiini, asam glioksalat mengeliminasi CO2 untuk menghasilkan HCOH, dimana para kimiawan kemudian memerangkapnya dalam sebuah matriks argon padat pada temperatur 11 K.

Hidroksimetilen tidak berada dalam fasa yang mampu diisolasi dalam waktu yang lama. karben akan mengatur dirinya sendiri untuk menjadi formaldehida dengan waktu paruh selama dua jam. Manuver ini mengejutkan para peneliti karena pada suhu 11 K tidak ada energi termal yang cukup untuk HCOH mengatasi rintangan tinggi dari reaksi pengaturan kembali. Pada akhirnya, tim ini menyimpulkan bahwa hidrogen hidroksil memotong rintangan ini melalui pembuatan terowongan kuantum.

Dalam sebuah wawancara yang menertai laporan penelitian ini, Markku Rasanen dari University of Helsinki, Finlandia mencatat bahwa penemuan ini 'akan mampu memberikan sinar baru terhadap sisi kimia dari senyawa-senyawa yang menarik ini, dan bahkan mampu menunjukkan jalan menuju penemuan reaksi-reaksi baru'.

(dikutip dari: Tomi Rustamiaji, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=177)

Pedas Cabai Untuk Membunuh Jamur

Rasa pedas pada cabai ternyata tidak dikhususkan buat manusia saja untuk melengkapi berbagai jenis masakannya. Peneliti di Amerika Serikat telah menemukan bahwa tanaman-tanaman cabai liar menghasilkan zat-zat kimia yang menimbulkan rasa pedas pada buahnya untuk digunakan merintangi jamur yang menyerang.

Cabai pedas mengandung komponen aktif capsaicinoid: senyawa antimikroba yang menimbulkan sensasi pedas karakteristik pada cabai. Senyawa ini merupakan salah satu contoh dari berbagai jenis zat kimia yang pedas, pahit atau bahkan toksik yang ditemukan pada berbagai jenis buah - kemungkinan dihasilkan oleh tanaman untuk menghalangi predator-predator yang tidak diinginkan seperti mikroba. Manfaat yang didapatkan ini melebihi efek zat-zat kimia tersebut terhadap hewan-hewan yang memakan buah tanaman untuk menyebarkan biji-bijinya, menurut hipotesis.

Tetapi seperti yang dijelaskan Joshua Tewksbury, dari Universitas Washington, Seattle, gagasan ini belum didukung oleh bukti bahwa kosumen dari jenis mikroba mempengaruhi sifat kimia buah pada tanaman-tanaman liar. Tewksbury dan rekan-rekannya, bersama dengan kolega di Florida dan Bolivia, menyelidiki tanaman-tanaman cabai liar, Capsicum chacoense, di sebuah daerah berjarak 200 mil dari Bolivia. Tanaman-tanaman ini rentan terhadap serangan jamur, yang ditransmisikan oleh hama yang melubangi buah cabai untuk mencari makan, sehingga menyisakan bekas yang berubah menjadi hitam ketika jamur menyerang.

Mereka menemukan bahwa tanaman cabai liar yang tumbuh di daerah dengan kelimpahan hama pencari makan tertinggi - sehingga kerentanan terhadap serangan jamur juga paling tinggi - cenderung hampir hanya terdiri dari varietas cabai pedas. Dan cabai-cabai yang memiliki jumlah bekas gigitan serangga sebanding mengalami lebih sedikit serangan jamur jika cabai-cabai tersebut pedas, dibanding jika tidak pedas. Sebuah eksperimen akhir yang mereka lakukan dengan menggunakan buah buatan yang kedalamnya dimasukkan capsaicinoid, menunjukkan bahwa zat-zat pedas kemungkinan bertanggungjawab secara langsung untuk penghambatan pertumbuhan jamur.

Paul Bosland, direktur Chile Pepper Institute di New Mexico State University, menyambut baik penelitian ini. "Kita sudah tahu bahwa cabai bersifat antibakteri dan anti-jamur, yang bisa menjadi salah satu alasan mengapa manusia mengkonsumsinya. Tewksbury dan rekan-rekannya telah melakukan penelitian yang sangat menarik dengan menunjukkan bahwa di alam, panas (capsaicinoid) cabai melindungi buahnya dari invasi jamur. Sehingga bukan hanya manusia yang mengambil manfaat dari capsaicinoid, tetapi juga memberi manfaat bagi tanaman cabai itu sendiri," kata dia.

Seperti jamur, kebanyakan mamalia dapat diusir dengan cabai, selama mereka tidak menikmati rasa pedas tersebut. Akan tetapi, burung-burung yang menyebarkan biji-biji cabai tidak memiliki reseptor untuk capsaicinoid. Penelitian Tewksbury sebelumnya terhadap tanaman cabai di Arizona, menunjukkan bahwa zat-zat kimia digunakan sebagai penarik burung dan pengusir predator dari jenis mamalia. Dia menganggap bahwa hasil penelitian dari Bolivia ini, yang kemungkinan merupakan daerah asal dari tanaman-tanaman ini, memiliki peranan yang lebih penting bagi evolusi tanaman ini. "Ada kemungkinan bahwa manfaat yang diperoleh dari berkurangnya serangan jamur lebih tinggi dibanding manfaat yang diperoleh dengan berkurangnya konsumsi oleh mamalia (untuk perkembangbiakan tanaman), karena patogen buah dari jenis jamur terdapat dimana-mana dan fakta bahwa jamur-jamur mencari target jauh lebih lama dibanding mamalia," kata Tewksbury.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=178)

Bio-petroleum dari gula

Peneliti di Amerika Serikat telah mengembangkan sebuah metode untuk merubah gula menjadi bensin. Metode ini, berdasarkan serangkaian konversi katalitik, bisa menjadi alternatif untuk fermentasi gula dari tanaman menjadi etanol sebagai sebuah sumber bahan bakar untuk transportasi.

Tim James Dumesic di Universitas Wisconsin-Madison mulai mengembangkan upaya untuk mengonversi gula-gula sederhana menjadi hidrokarbon yang bisa dicampurkan untuk membentuk bahan bakar kendaraan yang identik dengan bahan bakar yang kita gunakan saat ini. "Petroleum memiliki kepadatan energi yang tinggi, dan tidak semua mesin yang digunakan saat ini cocok untuk melakukan konversi pada etanol," kata Dumesic.

Inti dari pendekatan yang digunakan tim ini adalah menghilangkan sebagian besar atom oksigen dari molekul-molekul gula, disamping tetap menjaga tingkat fungsionalitas dalam molekul-molekul tersebut agar memungkinkan pemrosesan hilir lebih lanjut. Mereka mengambil larutan-larutan berair dari gula-gula sederhana seperti glukosa dan sorbitol dan mereaksikannya menggunakan bantuan katalis platinum-rhenium. "Hampir semua atom oksigen dilepaskan, sehingga tinggal menyisakan campuran yang berminyak antara alkohol, keton, asam karboksilat dan beberapa senyawa siklik," kata Dumesic. "Senyawa-senyawa ini termasuk senyawa monofungsional - mereka hanya memiliki satu gugus fungsional, yang menjadikannya lebih dapat beradaptasi untuk konversi selanjutnya."

Campuran ini selanjutnya bisa mengalami berbagai reaksi lanjutan dengan bantuan berbagai katalis zeolit. "Katalis-katalis ini bisa memasukkan gugus-gugus ke dalam molekul-molekul, atau misalnya membuat senyawa aromatik," papar Dumesic. "Anda bisa mengalirkan produk-produk reaksi dari satu reaktor ke reaktor lainnya, hingga akhirnya menghasilkan serangkaian hidrokarbon yang bisa dicampur untuk membuat bensin. Molekul-molekul ini adalah kumpulan molekul yang terdapat pada penyulingan petroleum."

Sumber gula

Dumesic mengatakan ada beberapa cara yang masih harus dilalui sebelum sistem ini bisa dikomersialkan. "Kami belum sampai ke situ, tetapi kami sedang mempelajari prinsip-prinsipnya." Dia juga mengakui bahwa salah satu kendala utama dalam pengembangan bahan bakar dari biomassa adalah sumber gula berkelanjutan yang tidak menggeser produksi makanan. "Ada banyak ilmuwan saat ini yang berupaya untuk membuat gula dari selulosa yang bukan dari bahan makanan dan upaya-upaya ini perlu terus dilanjutkan," tambahnya.

Jenny Jones dari Universitas Leeds, Inggris, yang meneliti konversi termal biomassa untuk energi, mengatakan bahwa penelitian ini menunjukkan "beberapa aspek kimiawi yang menarik, dan kemampuan untuk menghasilkan produk-produk berbeda dari stok yang sama sangat bermanfaat". Begitu juga bahan bakar untuk transportasi, proses ini juga bisa menghasilkan molekul-molekul stok kimiawi yang saat ini diperoleh dari petrochemical. Akan tetapi, Jones setuju bahwa untuk menjadikan pedekatan seperti ini berkelanjutan, diperlukan untuk mencari cara-cara yang efisien untuk mengolah lignoselulosa (curahan biomassa non-bahan makanan) untuk mendapatkan molekul-molekul gula sebagai produk utama.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=200)

Merubah batuan besi menjadi bahan anti kanker

Ada banyak bahan kimia yang sedang dikembangkan oleh para peneliti saat ini karena prospeknya untuk di gunakan sebagai zat anti kanker. Fokus terbesar adalah penelitian terhadap senyawa-senyawa dari tumbuhan baik darat maupun tumbuhan laut yang bersifat aktif terhadap sel kanker. Senyawa-senyawa ini pada umunya merupakan turunan flavanoid. Sayangnya, untuk menemukan senyawa aktif tersebut dibutuhkan waktu yang agak lama karena harus diekstrak dari berbagai sumber, dikarakterisasi, diuji aktivitasnya kemudian baru disintesis untuk memperbanyak jumlahnya.

Pada dua dekade belakangan, ahli Biomaterial mulai mempelajari material-material anorganik untuk diaplikasikan sebagai anti kanker. Magnetit (Fe3O4) adalah senyawa yang paling menjanjikan untuk bidang ini. Magnetit merupakan salah satu jenis oksida besi yang paling umum dikenal dan terdapat cukup banyak di alam. Sesuai namanya, senyawa ini bersifat magnet (magnet alam pertama yang ditemukan manusia). Strukturnya sangat unik yaitu spinel terbalik karena sebenarnya senyawa ini merupakan gabungan dari dua oksida besi yaitu FeO dan Fe2O3 yang dihubungkan oleh jembatan oksigen. Struktur seperti ini menghasilkan resultan momen magnet yang nyata serta kemampuan untuk transfer elektron ke ion tetangga secara simultan.

Struktur kristal magnetit dan salah satu foto SEM partikel magnetit

Agar magnetit tepat sasaran saat menyerang sel kanker, biasanya zat ini dimasukkan ke dalam tubuh bersama-sama dengan obat-obatan tertentu. Setelah magnetit diserap oleh sel kanker, maka tubuh pasien diberi medan magnet seragam dari luar dalam rentangan frekuensi yang tidak membahayakan (noninvasive). Momen magnet dari magnetit nanokristal dalam tubuh akan menjadi searah mengikuti arah momen medan luar sampai pada suatu titik dimana dia tidak lagi terpengaruh (kejenuhan magnetisasi). Ketika medan luar dihilangkan pada kondisi ini, momen magnet magnetit akan kembali secara perlahan-lahan ke kondisi awalnya. Peristiwa ini disebut relaksasi magnetik dan selalu menghasilkan panas sebagai akibat perubahan energi. Panas yang dihasilkan dalam sel kanker tersebut tidak berbahaya bagi manusia tapi sangat mematikan bagi sel kanker karena dia terkena secara langsung sehingga menyebabkan kematian sel kanker tersebut (sel kanker mati pada suhu 43°C).

Banyak metoda telah dikembangkan untuk mensintesis magnetit agar memiliki struktur nanokristal. Ini merupakan syarat utama agar bisa digunakan sebagai bahan anti kanker karena jika magnetit memiliki struktur nanokristal dia akan memperlihatkan sifat superparamagentik serta mudah diserap ke dalam sel. Metoda tersebut antara lain dekomposisi kimia, transfer fasa , sonolisis, dan hidrotermal. Sayangnya semua metoda yang ada masih menggunakan prekursor berupa bahan kimia murni yang harganya relatif mahal dan seringkali memerlukan atmosfir nitrogen dalam prosesnya.

Baru-baru ini saya dibawah bimbingan Dr. Syukri Arief, M.Eng berhasil mensintesis magnetit nanokristal secara langsung dari batuan besi yang banyak terdapat di Sumatera Barat tanpa memerlukan atmosfer inert. Batuan besi tersebut diproses secara hidrotermal sederhana sampai menghasilkan magnetit dengan kekristalan yang tinggi dan bersifat superparamagnetik. Idenya berawal dari usaha untuk meningkatkan nilai ekonomis batuan besi di beberapa kabupaten yang ada di sumatera barat. Selama ini batuan besi ditambang oleh perusahaan swasta untuk kemudian dijual mentah dengan harga murah ke Cina dan India. Tidak jarang kedua negara tersebut menjual kembali hasil olahan batuan tersebut berupa besi baja ke negara kita dengan harga yang lebih tinggi. Dengan adanya penelitian ini diharapkan usaha-usaha untuk pemanfaatan sumber daya tambang yang ada di Sumatera Barat akan lebih banyak lagi.

Daftar kepustakaan:

  1. Yan, Aiguo;Liu, Xiaohe;Qiu Ghuanzhou;Wu, Hongyi;Yi, Ran;Zhang, Ning;Xu,Jing, Solvothermal synthesis and characterization of size-controlled Fe3O4 nanoparticles. Journal of Alloy and Compounds. (2007). In Press.

  2. Gary Wulfsberg, Inorganic Chemistry, 2000, University Science Books, 691.

  3. Xinchao Wei and Roger C. Viadero Jr, Synthesis of magnetite nanoparticles with ferric ion recovered from acid mine drainage: Impllications for environmental engineering, Journal of Colloids and Surfaces A: Physicochem. Eng. Aspects, 2007, 294 : 280-286.

  4. Zhu,Hongliang;Yang,Deren;Luming,Zhu, Hydrothermal growth and characterization of magnetite (Fe3O4) thin films, Journal of Surface and Coatings Thecnology, 2007, 201 : 5870-5874.

(dikutip dari: Viko Ladelta, Mahasiswa program sarjana jurusan kimia Universitas Andalas, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=213)

Menangkap karbon dioksida dengan batuan

Penelitian tentang sebuah jenis batuan yang banyak ditemukan di Oman menunjukkan bahwa batuan tersebut bisa digunakan untuk menyapu bersih milyaran ton karbon dioksida setiap tahun tanpa harus ditambang, menurut beberapa ilmuwan di Amerika Serikat .

Peter Keleman dan Jurg Matter, di Columbia University, US, mengatakan bahwa batuan peridotit (yang sebagian besar tersusun atas mineral silikat olivin dan piroksen) bereaksi secara alami dengan CO2 dan membebaskannya dalam bentuk karbonat jauh lebih cepat dari yang diduga, berdasarkan kajian penarikhan (dating studies) 14C. Dengan mempercepat reaksi ini dengan panas dan dengan memaksa CO2 masuk ke dalam batuan melalui lubang-lubang yang telah dibor, para peneliti ini memperkirakan bahwa batuan perodotit Oman sendiri bisa menangkap milyaran ton CO2 dalam waktu setahun − sebuah proporsi signifikan dari 30 milyar ton CO2 yang diemisikan setiap tahun di dunia oleh aktivitas manusia. Periodotit juga ditemukan di pulau-pulau Pasifik Papua Nugini dan Caledonia, serta di California.

Batuan peridotit di Oman bisa menangkap lebih dari satu milyar ton karbon dioksida setahun

Ide penangkapan CO2 dalam bentuk karbonat di dalam batuan bukanlah hal yang baru sama sekali. Tetapi penangkapan CO2 secara alami tidak berlangsung sangat cepat, dan kebanyakan skema yang ada memerlukan energi untuk menambang batuan dan menyebarkannya pada sebuah permukaan, atau membawanya ke sebuah pabrik pembangkit daya. Kelemen dan Matter menunjukkan bahwa dengan sedikit panas ekstra dan beberapa persiapan, batuan peridotit bisa dibiarkan tetap pada tempatnya semula dan CO2 diarahkan ke batuan tersebut.

Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pemanasan pendahuluan peridotit dan menginjeksikan CO2 murni atau campuran cairan yang kaya CO2. Karena reaksi antara silikat dan CO2 untuk membentuk karbonat bersifat eksotermis, maka reaksi ini akan menjaga suhu batuan mendekati suhu optimum 200°C, sehingga memaksimalkan laju reaksi. Tetapi CO2 harus dipompakan dengan cepat ke dalam batuan agar dapat mengimbangi laju reaksi yang meningkat. Ini bisa menimbulkan masalah, karena pemurnian CO2 dari gas cerobong pabrik sangat intensif energi, papar Mercedes Maroto-Valer, yang meneliti sekuestrasi karbon di Nottingham University's center untuk penangkapan dan penyimpanan karbon.

Pendekatan kedua menghindari isu ini dengan menggunakan teknik-teknik dari industri minyak untuk mengebor dua lubang jauh ke dalam formasi batuan di bawah perairan laut dangkal, dan menyambung kedua lubang ini dengan sebuah jalur. Suhu batuan meningkat seiring dengan kedalaman dan suhu pada dasar lubang bor 5km adalah sekitar 100°C. Air laut yang dingin, yang mengandung CO2 bisa dipompakan kedalam salah satu lubang, dan jika telah mencapai dasar lubang, reaksi eksotermis selanjutnya akan mempertahankan suhu tinggi yang diperlukan untuk mengarahkan proses ini. Air yang menjadi panas pada akhirnya akan mencari jalan untuk berpindah ke lubang bor kedua (melalui jalur sambungan yang telah dibuat) dan naik ke permukaan melalui proses konveksi.

Meskipun pendekatan ini akan dibatasi oleh suplai CO2 terlarut dengan jumlah sekitar 10.000 ton CO2 per km3 batuan, namun biayanya bisa jauh lebih rendah, karena air yang bersirkulasi akan berfungsi mentransport CO2.

Para peneliti ini sangat berhati-hati dengan usulan tersebut. Model-model yang lebih rinci dan tes lapangan akan diperlukan untuk mengevaluasinya, kata mereka.

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=214)