Jumat, 31 Oktober 2008

Alergi Makanan Pada Anak Mengganggu Otak Dan Perilaku Anak

1. Pendahuluan

Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Optimalisasi tumbuh dan kembang Anak sejak dini adalah menjadi prioritas utama, sehingga kita dapat mencegah atau mengetahui sejak dini gangguan dan kelainan tumbuh kembang anak.

Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak.

Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terahkir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.

Autism dan berbagai spektrum gejalannya adalah gangguan perilaku anak yang paling banyak diperhatikan dan kasusnya ada kecenderungan meningkat dalam waktu terakhir ini. Autism diyakini beberapa peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak secara genetik. Terdapat beberapa hal yang dapat memicu timbulnya autism tersebut, termasuk pengaruh makanan atau alergi makanan.

Resiko dan tanda alergi dapat diketahui sejak anak dilahirkan bahkan sejak dalam kandunganpun kadang-kadang sudah dapat terdeteksi. Alergi itu dapat dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan Pertumbuhan dan perkembangan Anak secara optimal.

2. PROSES TERJADINYA ALERGI MENGGANGGU SISTEM SUSUNAN SARAF PUSAT

Patofisiologi dan patogenesis( proses terjadinya penyakit) alergi mengganggu sistem susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa menjelaskan, diantaranya adalah :

ALERGI MENGGANGGU ORGAN SASARAN

Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi.

Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.

TEORI ABDOMINAL BRAIN DAN ENTERIC NERVOUS SYSTEM

Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk fungsi otak.

Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.

KETERKAITAN HORMONAL DENGAN ALERGI

Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri.

Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari.

Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin.

Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen.

Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormone adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.

Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya

3. ALERGI, SISTEM SUSUNAN SARAF PUSAT DAN GANGGUAN PERKEMBANGAN-

PERILAKU

Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif dibandingkan organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa mengganggu organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri tampaknya menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku seorang anak.

Ada 2 hal yang berbeda antara hubungan gangguan alergi dan gangguan sistem susunan saraf pusat. Perbedaan tersebut tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak. Bila terdapat gangguan organik di otak seperti autism atau adanya fokus di otak lainnya maka proses alergi hanyalah memperberat atau mencetuskan timbulnya gejala. Bila tidak ada kelainan anatomis otak maka kemungkinan besar proses alergi sangat berkaitan dengan kelainan tersebut. Biasanya bila organ otak tidak ada kelainan atau penyakit lainnya maka pengaruh alergi pada otak biasanya prognosis baik dan gejalanya tidak berat.

Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet dapat mengurangi gejalanya.

Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak, diamati oleh G. Kay, Associate Professor Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine Washington. Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup, menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi tidak saja mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu luang.

Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall dan Colon tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman, dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia dan IQ yang sesuai tetapi tidak memiliki bakat alergi (non-atopik).

Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Alergi yang berkaitan dengan gangguan system susunan saraf pusat dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi fungsional.

A.GANGGUAN NEUROANATOMI

Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo, kehilangan sesaat memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena makanan alergi atau kimiawi lainnya.

Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.

B.GANGGUAN NEURO ANATOMI FUNGSIONAL (GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKU)

Reaksi alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan.

Yang dimaksud dengan gangguan perkembangan adalah gangguan fungsi psikomotor yang mencakup fungsi mental dan fungsi motorik. Anggota gerak kita atau organ tulang rangka kita dapat juga terkena gangguan perkembangan.

GANGGUAN MOTORIK BERLEBIHAN

Pada bayi baru lahir ditandai dengan gerakan kaki dan tangan yang berlebihan, tampak bayi tidak mau diselimuti atau dibedong. Bila digendong sering minta turun atau sering bergerak. Pada usia 4 hingga 6 bulan sudah berusaha untuk jalan, padahal kemampuan berjalan normal pada usia 12 bulan. Kadang menghentakkan kepala ke belakang-membentur benturkan kepala. Pada usia lebih besar tampak tidak mau diam, bergerak terus tak tentu arah tujuannya. Disertai kebiasaan menjatuhkan badan secara keras ke tempat tidur (smack down).

GANGGUAN KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN

Gangguan koordinasi yang dapat diamati adalah biasanya anak tidak mengikuti atau melewati fase perkembangan normal sesuai dengan usianya. Pola perkembangan motorik yang terganggu biasanya adalah bolak-balik badan, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan. Beberapa anak kadang tidak mengikuti pola tersebut, misalnya anak tidak mengalami duduk atau merangkak tapi langsung berjalan atau bias berdiri dahulu baru duduk. Selain itu anak tidak mengikuti pola normal perkembangan motorik sesuai usia, misalnya baru bias bolak-balik baru usia di atas 5 bulan atau duduk usia 11 bulan.

Pada usia lebih besar atau di atas 1 tahun, ditandai oleh aftifitas berjalan seperti terburu-buru atau cepat sehingga kemampuan berjalan terlambat. Bila berjalan sering jatuh, atau menabrak benda di sekitarnya. Kebiasaan lainnya adalah bila berjalan jinjit atau bila duduk bersimpuh posisi kaki ke belakang seperti huruf W.

GANGGUAN TIDUR

Gangguan tidur banyak sekali penyebabnya, alergi pada anak tampaknya sebagai salah satu penyebab yang paling sering. Tirosh tahun 1993 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa apada penderita asma dan alergi sering disertai oleh adanya gangguan tidur berupa sering terjaga waktu tidur, lama tidur lebih pendek dan gangguan tidur lainnya.

Gangguan tidur pada alergi bisa terjadi sejak bayi. Pada penelitian kami menunjukkan bahwa bayi yang beresiko dan mempunyai gejala alergi sejak lahir sering pada 3 bulan pertama mengalami kesulitan tidur terutama pada malam hari. Biasanya bayi sering terbangun terutama tengah malam hingga menjelang pagi, kadang disertai sering rewel dan menangis pada malam hari.Bila berat biasanya disertai dengan keluhan kolik (menangis histeris yang tidak diketahui sebabnya). Pada usia yang lebih besar biasanya ditandai dengan awal jam tidur yang larut malam, tidur sering gelisah (bolak balik posisi badannya), kadang dalam keadaan tidur sering mengigau, menangis dan berteriak. Posisi tidurpun sering berpindah dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Tengah malam sering terjaga tidurnya hingga pagi hari, tiba-tiba duduk kemudian tidur lagi, posisi tidur sering tengkurap.

Pada anak usia sekolah, remaja dan dewasa biasanya ditandai dengan mimpi buruk pada malam hari. Mimpi buruk yang tersering dialami adalah mimpi yang menyeramkan seperti didatangi orang yang sudah meninggal atau bertemu binatang yang menakutkan seperti ular.

Judarwanto W tahun 2002 mengemukakan bahwa dalam pengamatan pada 245 anak dengan gangguan pencernaan karena alergi, didapatkan 80% anak mengalami gangguan tidur malam. Setelah dilakukan penatalaksanaan diet alergi, menunjukkan 90% penderita tersebut terdapat perbaikan gangguan tidurnya.

GANGGUAN KONSENTRASI

Anak mengalami gangguan pemusatan perhatian, sering bosan terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan kecuali jika menonton televise. Anak tampak tidak bisa duduk lama di kursi. Di kelas tidak dapat tenang menerima pelajaran , sering mengobrol, mengganggu teman dll, bila mendapat mendengar cerita tidak bisa mendengar atau mengikuti dalam waktu lama. Yang menonjol meskipun tampak tidak memperhatikan bila berkomunikasi tetapi anak dapat merespon komunikasi itu dengan baik dan cepat.

KETERLAMBATAN BICARA ATAU GANGGUAN BICARA

Salah satu manifestasi alergi pada anak adalah keterlambatan bicara. Keterlambatan bicara bila disertai manifestasi alergi yang dominan pada anak maka harus dievaluasi lebih jauh apakah ada keterkaitan antara 2 hal tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan lintasan pendengaran yang berhubungan. Diduga manifestasi alergi ikut berperanan memperberat gangguan yang sudah ada tersebut.

Gangguan bicara pada alergi biasanya membaik secara pesat setelah usia 2 tahun. Hal ini mungkin yang bisa menjelaskan akan keterkaitan gangguan pencernaan pada alergi yang mengganggu fungsi otak. Dimana gangguan pencernaan pada penderita alergi akan membaik pada usia 2 tahun juga.

Kemungkinan adanya kesulitan berbahasa harus difikirkan bila seorang anak terlambat mencapai tahapan unit bahasa yang sesuai untuk umurnya. Unit bahasa tersebut dapat berupa suara, kata, dan kalimat. Selanjutnya fungsi berbahasa diatur pula oleh aturan tata bahasa, yaitu bagaimana suara membentuk kata, kata membentuk kalimat yang benar dan seterusnya.

Keterlambatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan perkembangan yang paling sering terjadi. Sebanyak 1% anak mengalami keterlambatan bicara tetap tidak dapat bicara. Tiga puluh persen diantara anak yang mengalami keterlambatan ringan akan sembuh sendiri, tetapi 70% diantaranya akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai atau berbagai kesulitan belajar lainnya. Biasanya keluhan ringan inilah yang berkaitan langsung dengan gangguan alergi

Manifestasi alergi yang timbul berulang dan terus menerus lebih dari 2 minggu, dapat mempengaruhi gangguan bicara pada bayi tertentu di bawah 1 tahun. Kemampuan bicara bisa di evaluasi sejak lahir. Kemampuan berbicara tersebut harus diperhatikan cermat dengan mengamati secara teliti menghilang atau berkurangnya bunyi-bunyian yang di mulut (babbling/ngoceh). Beberapa kata yang biasa diucapkan seperti ba, da, ma, atau pa tiba-tiba menghilang pada usia tertentu. Setelah manifestasi alergi diperbaiki dengan penatalaksanaan diet tampak kemampuan tersebut membaik lagi. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa memang keterlambatan bicara bisa dipengaruhi oleh gangguan alergi.

Gangguan bicara lainnya bisa terjadi adalah disleksia, echolalia (menirukan setiap perkataan orang lain) dan stuttering (gagap).

AGRESIF

Tanda agresif pada bayi sudah bisa diamati pada kebiasaan menggigit dan menjilat yang berlebihan. Pada bayi muda dilihat dari kebiasaan bayi memasukkan semua tangan bahkan sampai memasukkan kaki ke mulut. Pada usia lebih dari 6 bulan sudah tampak aktifitas menggigit yang berlebihan ditandai oleh gigitan pada tangan, pundak atau mulut orang yang menggendong. Sedangkan kebiasaan menjilat yang berlebihan ditandai dengan aktifitas menjilat pada semua barang yang dipegang, pada sprei dan permukaan meja.

Kecenderungan lainnya adalah pada usia di atas 6 bulan mulai sering memukul muka, kepala orang lain atau kepala sendiri. Kebiasaan lainnya adalah menjambak rambut sendiri atau rambut orang lain. Bila usia lebih besar biasanya tidak hanya memukul dengan tangan tetapi juga kebiasaan memukul dengan tongkat pada benda di sekitarnya. Di atas usia 1 tahun selain memukul ditambah dengan kebiasaan mencakar dan mencubit orang lain. Kadangkala juga tampak kebiasaan melempar mainan atau benda yang dipegang secara berlebihan.

GANGGUAN EMOSI

Gangguan emosi sering terjadi pada anak alergi. Pada bayi sudah tampak bahwa bayi kalau berteriak sangat keras, bila minta minum sering tidak sabaran. Pada anak yang lebih besar tampak mudah marah, gampang berteriak, bila marah sering histeris, melempar benda yang dipegang hingga temper tantrum, sering membentur kepala atau memukul kepala.

HIPERKINESIA

Gangguan hiperkinesia yang terjadi adalah overaktif, sulit mengontrol tubuhnya untuk diam, anak selalu bergerak dan tampak tidak tenang, sulit konsentrasi, hingga ADHD. Meskipun diduga ADHD kemungkinan terjadi gangguan organic dari otak.

AUTISM DAN ALERGI

Autisma adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.

Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Tetapi penelitian biomolekular sudah dapat mengidentifikasi pola DNA penderita Autism, artinya kemungkinan sudah ada bakat genetik pada kelainan ini. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism.

Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.

4. HUBUNGAN ALERGI DENGAN FUNGSI OTAK LAINNYA

Storfer dkk tahun 2001 dalam penelitiannya terhadap penderita 2.720 anak dengan asma dan alergi lainnya, terdapat kecenderungan kemampuan intelegensianya lebih tinggi dibandingkan dengan anak lainnya.

Hazzel tahun 2000, menambahkan selain intelektual yang baik biasanya anak alergi dan asma mempunyai inisiatif yang menonjol dan kemampuan kreatifitas yang bagus. Kecenderungan lainnya terdapat 2 kali lebih besar terjadinya myopia pada anak asma dengan multipel alergi, meskipun hubuhngan tersebut dapat dikaitkan secara langsung.

5. PENATALAKSANAAN

Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.

Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Sehingga bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak.

Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan eliminasi terbuka. Pengobatan tersebut harus dievaluasi dalam 2 atau 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi.

Sedangkan untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku yang sudah ada dapat dilakukan pendekatan terapi dengan terapi okupasi, terapi bicara, terapi sensory integration, hearing atau vision therapy dan sebagainya.

6. PENYEBAB SELAIN ALERGI MAKAN

Terdapat juga beberapa makanan yang dapat mengganggu otak tetapi tidak melalui reaksi imunologi melainkan karena raksi simpang makanan atau intoleransi makanan diantaranya adalah salisilat, tartarzine (zat pewarna makanan), nitrat, amine, MSG(monosodium Glutamat), antioksidan, yeast, lactose, benzoate,

Salicylates ; ditemukan dalam buah, saur, kacang, the, kopi, bir, anggur dan obat-obatan seperti aspirherbs, spices, spreads, teas & coffee, juices, beer and wines and medications such as Aspirin. Konsestrasi tinggi terdapat dalam dried fruits seperti sultanas.

Amines ; diproduksi selama fermentasi dan pemecahan protein ditemukan dalam keju, coklat, anggur, bir, tempe, sayur dan buah seperti pisang, alpukat dan tomat.

Benzoates ; ditemukan dalam beberapa buah, sayur, kacang, anggur, kopi dan sebagainya.

Monososodium glutamate (MSG) ; Sering ditemukan pada penyedap makanan : vetsin, kecap, atau makanan lainnya

Laktose : sering terdapat di dalam susu sapi

Glutamate; banyak didapatkan pada tomat, keju, mushrooms, saus, ekstrak daging dan jamur.

7. PROGNOSIS

Prognosis gangguan perkembangan dan perilaku yang berkaitan dengan alergi tergantung dari ada tidaknya kelainan organik otak seperti autism atau adanya focus di otak. Bila dipastikan tidak ada kelainan anatomis otak maka prognosisnya akan lebih baik. Biasanya bila gangguan tersebut dikendalikan maka akan terlihat secara drastis perbaikkan gangguan perkembangan dan perilaku tersebut. Pada gangguan jenis ini usia di atas 2 hingga 5 tahun ada kecenderungan membaik.

Namun bila didapatkan autism atau gangguan organik otak lainnya maka prognosisnya lebih buruk. Namun bila gangguan tersebut diperberat oleh pencetus alergi maka penatalaksanaan alergi dengan pengaturan diet akan sangat banyak membantu.

8. PENUTUP

Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi tampaknya merupakan akibat yang harus lebih diperhatikan demi terbentuknya tumbuhan dan kembang anak yang optimal.

Gangguan alergi dengan berbagai dugaan mekanismenya ternyata dapat menggganggu neuroanatomis dan neuroanatomis fungsional yang mengkibatkan gangguan perkembangan dan perilaku pada anak.

Resiko dan gejala alergi bisa diketahui dan di deteksi sejak dalam kandungan dan sejak lahir, sehingga pencegahan gejala alergi dapat dilakukan sedini mungkin. Resiko terjadinya komplikasi dan gangguan sistem susunan saraf pusat diharapkan dapat dikurangi.

Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan perkembangan dan kelainan perilaku lainnya adalah harus melibatkan beberapa disiplin ilmu, karena harus dipastikan bahwa tidak ada kelainan organik, sistemik atau psikologis lainnya. Bila perlu dikonsultasikan pada neurology anak, psikiater anak, dokter anak minat tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan gangguan anatomis otak belum jelas, bisa saja dilakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan diet eliminasi terbuka evaluasi perubahan atau perbaikan dari gangguan perilaku yang timbul.

(dikutip dari Widodo Judarwanto Children Allergy Center, Rumah Sakit Bunda Jakarta, http://puterakembara.org/rm/Alergi1.shtml)

Mengenal Lebih Jauh Proses Dispersi Pigmen

Proses dispersi pigmen merupakan suatu tahapan penting dalam pembuatan tinta. Proses ini harus berjalan efektif dan efisien karena sangat berpengaruh terhadap kualitas tinta seperti kualitas gloss,kekuatan tinta dan sifat transparansi tinta. Pada umumnya proses disperse dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses pembasahan (wetting), proses pemecahan (grinding) dan proses stabilisasi.
  • Proses pembasahan pigmen: Pada proses pembasahan pigmen,seluruh gas oksigen yang terdapat di antara permukaan agregat dan aglomerat pigmen digantikan oleh resin.

  • Proses pemecahan: Proses ini membutuhkan energi mekanis yang besar agar aglomerat pigmen dapat terpecahkan ke partikel yang lebih kecil.

  • Proses stabilisasi: Proses ini bertujuan diperlukan untuk mempertahankan pigmen yang telah terpecahkan tidak bersatu kembali.

Mekanisme proses dispersi.

Pemilihan pendispersi (dispersant) yang tepat sangat dipengaruhi oleh sifat kimia pigmen dan juga resin yang digunakan.

Proses Pembasahan Pigmen

Pada intinya proses ini merupakan suatu proses yang menggantikan senyawa yang teradsorpsi di permukaan pigmen dan di dalam agglomerasinya (seperti air,oksigen,dan udara) dengan bantuan resin.

Proses pembasahan yang sempurna akan meningkatkan performa tinta yang begitu sangat tergantung oleh interaksi antara partikel pigmen dan system resin. Proses ini dapat dibantu dengan adanya suatu dispersant yang membantu terjadinya interaksi antar partikel cair dan padat dengan cara mengggantikan interaksi partikel antara gas/udara dengan padat.

Proses Penggantian udara dan air oleh resin

Tingkat efisiensi dari proses pembasahan ini sangat tergantung dari perbedaan tegangan permukaan (surface tension) dari pigmen dan resin. Mekanisme adsorpsi ini sangat tergantung pada sifat kimia pigmen dan juga tipe dispersant yang dipakai.

Kajian secara thermodinamika

Secara termodinamika proses pembasahan membutuhkan kerja adhesi pada interface cair dan padatan (Wa) yang begitu besar atau setidak-tidaknya lebih besar dari kerja kohesi yang dibutuhkan (Wa > Wk).

Kecepatan penetrasi suatu zat cair ke dalam suatu padatan dapat dijelaskan melalui persamaan Wasburn

Dimana h ialah kedalaman (tinggi) aksi penetrasi selama waktu t, σ ialah tegangan permukaan dari cairan, η ialah viskositas, θ ialah sudut pembasahan (wetting), r ialah radius rata-rata dari kapilar, C ialah koefisien struktural (berhubungan dengan porositas) sedangkan W ialah energi pembasahan (wetting).

Proses Pemecahan

Setelah melalui proses pembasahan (wetting stage), tahapan selanjutnya adalah proses pemecahan (grinding stage) Proses ini memerlukan energi mekanis yang dapat diperoleh dari mesin pemecah (grinding machine).

Pigmen yang telah terdispersi

Setelah pigmen terpecahkan menjadi partikel-partikel kecil maka luas permukaan pigmen pun semakin besar sehingga diperlukan zat aditif dalam jumlah yang cukup besar untuk membasahi permukaan tersebut.

Namun meskipun pigmen telah terdispersi,partikel-partikel tersebut dapat kembali membentuk agglomerasi. Proses ini dinamakan flokulasi. Agar flokulasi tidak terjadi maka diperlukan suatu proses lanjutan yang dinamakan proses stabilisasi.

Proses Stabilisasi pigmen

Tujuan proses stabilisasi adalah untuk mencegah terjadinya flokulasi.Sifat flokulasi pigmen dapat dilihat dari tidak seragamnya ukuran partikel. Flokulasi menyebabkan sifat aliran tinta (reologi) tinta menjadi buruk dan menurunnya sifat gloss tinta dan juga berkurangnya stabilitas tinta. Pada umumnya, flokulasi akan berkurang jika pada tinta diberikan suatu energi mekanis (mixing) namun keadaan tersebut hanya sementara karena flokulasi akan terbentuk lagi jika energi yang diberikan ditiadakan. Karena itu dalam proses dispersi perlu ditambahkan zat dispersant untuk mencegah terjadinya flokulasi.

Proses stabilisasi menghambat terjadinya gaya Van der Waals di antara partikel pigmen yang dapat menyebabkan terjadinya aglomerasi.

Terdapat dua prinsip mekanisme terjadinya proses stabilisasi pada proses dispersi pigmen.

  • Stabilisasi Elektron: Stabilisasi elektrostatik terjadi apabila tempat-tempat yang bermuatan sama pada permukaan pigmen bersentuhan satu sama lain. Dua partikel yang memiliki muatan sama menghasilkan efek tolak-menolak. Tolakan Coulomb yang dihasilkan oleh partikel-partikel bermuatan memungkinkan sistem tetap stabil.

  • Stabilisasi Sterik: Pigmen dikatakan stabil secara sterik apabila permukaan partikel-partikel padat seluruhnya ditutupi oleh polimer, sehingga membuat persentuhan partikel dengan partikel tidak mungkin. Interaksi kuat antara polimer dan pelarut (pelarut organik atau air) mencegah polimer untuk berdekatan satu sama lain (flokulasi).

(dikutip dari: Ucok Larici, http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=53)

Kejutan fluoresensi dari buah pisang

Mungkinkah pisang-pisang masak akan menjadi glowstick yang baru untuk klub-klub malam? Buah yang berwarna kuning ini bersinar biru terang dibawah sinar UV, sebuah temuan yang mengejutkan pada peneliti di Austria. Intensitas pancaran sinar biru mencapai puncak pada saat buah ini dalam kematangan sempurna untuk dimakan.

Bernhard Kräutler dan rekan-rekannya di Universitas Innsbruck menemukan fenomena ini pada saat sedang mencari bahan-bahan kimia yang menyebabkan timbulnya warna kuning pada kulit pisang. Mereka mencelupkan pisang-pisang segar ke dalam nitrogen cair untuk mengekstrak senyawa-senyawa tersebut dan kemudian menganalisisnya dengan HPLC. "Kami sangat terkejut karena beberapa diantaranya memancarkan sinar biru," kata Kräutler ke Chemistry World.

Fluoresensi ini, yang tidak ditemukan pada tanaman atau buah lain manapun, tampaknya berasal dari produk-produk penguraian dari klorofil − yang mana dalam buah pisang memerlukan waktu lebih lama dari biasanya untuk dikonversi menjadi senyawa-senyawa yang tidak berwarna. Mereka kemudian menyelidiki kulit-kulit pisang yang masak alami dan masak buatan dibawah sinar ultraviolet dan menemukan pancara sinar biru terang. "Yang paling mengherankan kami adalah bahwa belum ada seorang pun yang melaporkan hal ini sebelumnya," tambah Kräutler.

Pisang masak menyala biru dibawah sinar UV

Klorofil penyerap cahaya berada di balik kimia warna buah tersebut. Klorofil penting bagi pisang untuk tumbuh dan bertanggung jawab untuk warna hijau pada buah pisang yang belum masak. Tetapi jika sudah masak dan siap untuk dimakan, klorofil dengan cepat terurai − menyebabkan warna kuning dari karotenoid menjadi dominan dalam kulit pisang.

Klorofil (kiri) terurai menjadi Mc-FCC-56 fluoresens biru

Peranan di alam

Seperti halnya peranan yang dimiliki zat kimia ini dalam lingkungan, kemungkinan banyak peran-peran lain yang dimiliki. Kräutler berspekulasi bahwa dibawah sinar matahari langsung, fluoresensi biru kemungkinan berkontribusi bagi warna kuning terang yang khas dari pisang, dan memungkinkan untuk ditemukan lebih mudah oleh makhluk-makhluk yang memakannya. Philip Rea di Universitas Pennsylvania, US, juga terkejut dengan temuan ini, tetapi kurang yakin dengan peranan tersebut yang dimiliki oleh senyawa ini di alam. "Banyak hewan pemakan buah yang memakan pisang, misalnya kelelawar buah, yang beroperasi di malam hari." Yang lainnya bergantung pada penciuman, atau memerlukan jarak pandang yang sangat sempit untuk menemukan emisi biru tersebut.

Dugaan lain adalah bahwa senyawa-senyawa fluoresens biru ini bisa memegang peranan biologis, misalnya mengkatalisis reaksi-reaksi tertentu atau mungkin hanya melindungi pisang dari sinar UV yang memungkinkan buah tetap segar dalam jangka waktu yang lebih lama. Tim Kräutler masih terus meneliti dan sekarang ini beralih ke buah-buah lain yang memiliki perilaku serupa dengan pisang. (dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=207)

Alat Elektronik Bertenaga Gula

Ilmuwan di Jepang telah membuat sebuah sel bahan-bakar hayati (biofuel cell) yang menghasilkan energi yang cukup untuk menjalankan sebuah mp3 player atau mobil remot mainan.

Dengan terinspirasi oleh proses pembangkitan energi pada makhluk-makhluk hidup, Tsuyonobu Hatazawa, dari Sony Corporation, Kanagawa, dan rekan-rekannya membuat sebuah bio-baterai yang menghasilkan listrik dari glukosa dengan menggunakan enzim sebagai katalis.

Sel biofule yang sederhana terdiri dari sebuah anoda dan sebuah katoda yang dipisahkan oleh sebuah membran penghantar foton. Sebuah bahan bakar terbaharukan, seperti gula, dioksidasi oleh mikroorganisme-mikroorganisme pada anoda, menghasilkan elektron dan proton. Proton berpindah melalui membran ke katoda sedangkan elektron ditransfer ke katoda melalui sebuah sirkuit eksternal. Elektron dan proton bergabung dengan oksigen pada katoda membentuk air.

Sampai sekarang, output energi dari sel-sel biofuel masih terlalu rendah untuk pengaplikasian praktis. Transfer elektron pada sebuah sel biofuel bisa berlangsung lambat sehingga Hatazawa menggunakan sebuah turunan naftoquinon − yang dikenal sebagai mediator transfer elektron − untuk mengacak elektron-elektron antara elektroda dan enzim. Ini meningkatkan kepadatan arus − sebuah ukuran laju dari reaksi elektrokimia − dan meningkatkan luaran daya.

Untuk lebih meningkatkan kepadatan arus, Hatazawa memadukan mediator tersebut dan enzim ke dalam sebuah anoda serat-karbon. Daerah permukaan yang luas dan porositas elektroda menghindari terjadinya gangguan transport glukosa dan mempertahankan aktivitas enzim. Mereka menggunakan rancangan yang serupa untuk mengoptimalkan katoda sehingga menyuplai oksigen yang cukup ke sel bahan bakar. Pada saat mereka menumpuk empat sel ini bersama-sama, mereka mencapai luaran daya sebesar 100 miliwatt − cukup untuk menjalankan sebuah mp3 player dengan speaker atau mobil remote yang kecil.

Empat unit sel biofuel dalam rangkaian bisa menyalakan sebuah mp3 player lengkap dengan speaker

Adam Heller, seorang ahli di bidang bioelektrokimia dari Universitas Texas di Austin, Amerika Serikat, mengatakan penelitian ini "akan menjadi cikal bakal lahirnya sel-sel biofuel yang bermanfaat, setelah bertahun-tahun dilakukan penelitian yang tak kunjung membuahkan hasil".

(dikutip dari: Soetrisno, http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=210)

Senin, 27 Oktober 2008

Hidup dalam Lingkungan yang Terlalu Steril Nampaknya Memiliki Efek Kesehatan Negatif


Anak-anak yang tumbuh di rumah yang terlalu steril kemungkinan memiliki resiko menderita Inflammatory Bowel Disease (IBD) lebih tinggi, menurut kesimpulan suatu studi.

IBD (gangguan saluran cerna yang ditandai dengan adanya peradangan yang menahun), mengacu pada sekelompok kondisi yang ditandai dengan peradangan kronis di usus, khususnya gejala seperti nyeri perut dan diare.

Dalam penelitian baru yang dipublikasikan di American Journal of Gastroenterology, para peneliti mengamati apakah hygiene hypothesis mungkin berkaitan dengan meningkatnya resiko IBD pada anak-anak muda.

Hygiene hypothesis dikemukakan kali pertama pada akhir 1980-an sebagai penjelasan atas berkembangnya alergi pada negara-negara maju.

Teori itu menyebutkan bahwa, bila anak-anak mulai bersinggungan dengan beberapa virus, bakteri, dan mikroorganisme lain di masa awal kehidupannya, perkembangan sistem kekebalan tubuh mereka akan bekerja.

Contohnya, beberapa studi telah menemukan bahwa anak-anak yang menghabiskan waktunya di tempat-tempat pengasuhan anak, dimana mereka kemungkinan besar berhubungan dengan virus atau mikroorganisme lain, memiliki kemungkinan kecil mengidap alergi dibandingkan teman sebayanya yang kurang bergaul dengan anak-anak lain di masa awal kehidupannya.

Untuk studi yang sedang berlangsung, Dr. Eran Israeli dan koleganya mengamati hubungan antara resiko IBD dan beberapa indikator tentang bagaimana hygiene hypothesis diajarkan pada anak, termasuk berapa jumlah saudara kandung, jarak urutan kelahiran dalam keluarga (tanpa mempertimbangkan jenis kelamin), dan apakah keluarga anak tersebut tinggal di daerah pinggiran atau perkotaan. Lingkungan pedesaan umumnya dianggap kurang sehat dibanding lingkungan perkotaan.

Para peneliti menemukan bahwa diantara hampir 400.000 anak belasan tahun yang termasuk dalam penelitian Israeli ini, 768 (0,2%) anak telah didiagnosa terkena IBD. Mereka yang hanya mempunyai satu saudara kandung, memiliki kemungkinan dua atau tiga kali lebih besar terkena IBD dibandingkan anak belasan tahun yang memiliki lima saudara kandung atau lebih.

Demikian pula, anak belasan tahun yang tinggal di perkotaan memiliki kemungkinan menderita IBD 38% lebih tinggi ketimbang teman-temannya di pedesaan.

Penemuan ini tidak dapat membuktikan bahwa hygiene hypothesis berlaku untuk IBD, menurut Israeli, dari Hadassah Medical Center-Hebrew University di Jerusalem.

Studi ini, kata Israeli kepada Reuters Health, hanya mengamati “indikator sampel” dari kebersihan anak dan memperlihatkan hubungan antara indikator tersebut dengan IBD.

Tetapi jika lingkungan kehidupan modern yang ekstra-bersih benar-benar memberi kontribusi berkembangnya IBD pada individu yang rentan, lantas apakah implikasinya?

“Tentu tidak realistik bila menyarankan untuk tinggal di lingkungan yang kurang bersih atau mengubah kondisi tempat tinggal untuk mengusahakan perlindungan yang tepat dari perkembang-an IBD di masa mendatang,” kata Israeli.

Bagaimanapun, ia menambahkan, mungkin memang masuk akal menurunkan resiko IBD pada mereka yang memiliki resiko IBD lebih tinggi daripada mereka yang normal –seperti mereka yang anggota keluarganya terkena IBD– dengan mengenalkan mikroba yang tidak membahayakan untuk membantu mengatur respons kekebalan tubuh mereka.

Para peneliti telah mulai mempelajari apakah menggunakan cacing parasit yang tidak berbahaya dapat membantu menangani Crohn’s disease (penyakit sistem pencernaan yang mungkin mempengaruhi bagian manapun dari daerah gastrointestinal atau saluran perut-usus, mulai dari mulut ke dubur) atau colitis (kolitis adalah penyakit yang merupakan peradangan usus besar). Studi belum meneliti cara seperti itu untuk mencegah IBD pada mereka yang beresiko tinggi dalam kesehatan, kata Israeli. (reuters health/tnm/feb)

Sumber: American Journal of Gastroenterology, Juli 2008 (dikutip dari www.erabaru.or.id)

Minggu, 26 Oktober 2008

Apakah Ingatan Disimpan diluar Otak?


Banyak orang percaya bahwa ingatan manusia terdapat di dalam otak, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya pikiran berada dalam medan morphogenic. (atas) Karl Lashley (bawah) Rupert Sheldrake

Setelah melakukan penelitian selama beberapa dekade, ilmuwan masih belum dapat menjelaskan mengapa tidak dapat menemukan bagian otak yang bertugas untuk menyimpan ingatan.

Banyak orang berasumsi bahwa ingatan kita pasti berada di dalam kepala kita. Tetapi tidak peduli berapa banyak usaha untuk mencarinya, peneliti kesehatan tidak dapat menemukan bagian otak mana yang sebenarnya menyimpan ingatan kita. Apakah mungkin ingatan kita sebenarnya berada di ruang di luar struktur fisik kita?

Dr. Rupert Sheldrake, seorang ahli biologi, penulis, dan peneliti mengatakan bahwa pencarian pikiran telah dilakukan kedua arah berlawanan. Ketika kebanyakan ilmuwan mencari di dalam kepala, dia mencari keluar.

Berdasarkan Sheldrake, penulis beberapa buku dan artikel ilmiah, ingatan manusia tidak berada di dalam ke dua bagian otak kita, tetapi tersimpan dalam semacam medan yang mengelilingi o-tak. Sementara otak itu berfungsi sebagai decoder atau penstabil informasi yang dihasilkan dari interaksi setiap orang dengan lingkungannya.

Dalam tulisannya "Perspektif Psikologi," Sheldrake menyamakan otak dengan sebuah televisi menggambarkan sebuah analogi untuk menggambarkan bagaimana pikiran dan otak berinteraksi.

"Jika saya merusak televisi Anda sehingga tidak dapat menerima sinyal dari stasiun tertentu, atau jika saya membuat TV Anda cacat dengan merusak bagian tertentu untuk menghasilkan suara sehingga Anda masih dapat melihat gambarnya tetapi tidak ada suaranya, hal ini tidak membuktikan bahwa suara atau gambar disimpan di dalam televisi.

Hal ini menunjukkan bahwa saya telah mempengaruhi sistem tuning sehingga Anda tidak dapat menangkap sinyal yang tepat lagi. Mirip dengan kasus kehilangan ingatan akibat kerusakan bagian otak juga tidak membuktikan bahwa ingatan tersimpan di dalam otak.

Kenyataannya, kebanyakan kasus hilang ingatan ada-lah bersifat sementara, contohnya amnesia akibat gegar otak, biasanya bersifat sementara. Pulihnya kembali ingatan sangat sulit dijelaskan dengan teori konvensional: jika ingatan telah hilang akibat rusaknya selaput ingatan di otak, maka ingatan tidak mungkin kembali lagi; tetapi seringkali ingatan tersebut kembali," tulisnya.

Sheldrake lebih lanjut menyangkal konsep bahwa ingatan disimpan di dalam otak, dengan mencontohkan penelitian penting yang dia percayai telah salah diinter-pretasikan. Penelitian ini melibatkan pasien yang dapat mengingat kembali kejadian dari masa lalu ketika bagian otak mereka dirangsang dengan listrik.

Banyak ilmuwan menyimpulkan bahwa area otak yang dirangsang harus dihubungkan secara logika dengan ingatan tersebut, tetapi Sheldrake mempunyai sudut pandang berbeda, menyampaikan dengan menggunakan analogi televisinya kembali, "…jika saya menstimulasi sirkuit tuning televisi dan tiba-tiba program berpindah ke chanel lain, hal ini tidak membuktikan bahwa informasi disimpan di dalam sirkuit tuning," tulisnya.

Medan Morphonegetic

Tetapi jika ingatan tidak disimpan di dalam otak, dimanakah dia tersimpan? Mengikuti ide dari ahli biologi sebelumnya, Sheldrake percaya bahwa semua organisme mempunyai bentuk resonansi sendiri - sebuah medan yang eksis baik di dalam dan sekitar organisme itu, yang memberinya informasi dan bentuk.

Sebuah alternatif bagi pengertian biologi umum, bahwa pendekatan morphogenetic melihat bahwa makhluk hidup berinteraksi secara erat dengan medan yang berhubungan dengan mereka, meng-hubungkan mereka dengan akumulasi ingatan pengalaman masa lalu dari spesies tersebut.

Tetapi medan ini menjadi lebih spesifik, membentuk medan di dalam medan, dengan setiap pikiran - bahkan setiap organ tubuh - mempunyai resonansi dan sejarah uniknya sendiri, menstabilkan kehidupan tersebut dengan gambaran dari pengalaman masa lampau. "Konsep utama dari resonansi morphic adalah suatu hal yang sejenis saling mempengaruhi melintasi ruang dan waktu," tulis Sheldrake.

Tetapi, masih banyak ahli neurologi bersikeras menyelidiki lebih jauh ke dalam otak untuk menemukan tempat tinggal ingatan. Salah satu peneliti yang terkenal adalah Karl Lashley, yang mendemonstrasikan bahwa meskipun otak seekor tikus telah dipotong lebih dari 50 persen, tikus tersebut masih mampu untuk mengingat trik-trik yang telah dilatih sebelumnya.

Anehnya, sepertinya baik bagian otak kiri atau otak kanan yang dipotong juga tidak ada bedanya, tikus itu masih mampu melaksanakan trik yang telah dipelajari sebelumnya. Peneliti lainnya juga melaporkan hasil serupa pada binatang lainnya.

Bayangkan hal ini

Teori holografis, lahir dari eksperimen yang dilakukan dari peneliti seperti Lashley, menganggap bahwa ingatan tidak tinggal di daerah spesifik dari otak besar tapi berada di otak secara keseluruhan. Dengan kata lain, seperti sebuah gambar hologram, sebuah ingatan disimpan sebagai sebuah pola gelombang pada seluruh bagian otak.

Tetapi, ahli neurologi telah menemukan bahwa otak bukanlah sebuah entitas statis, tetapi sebuah kumpulan syaraf dinamis yang terus menerus berubah -semua kimiawi dan substansi sel berinteraksi dan berubah posisi secara konstan.

Tidak seperti sebuah CD komputer dengan format teratur dan tidak berubah yang bisa menarik informasi yang sama yang disimpan beberapa tahun sebelumnya, maka sulit untuk menjaga agar sebuah ingatan dapat disimpan dan dipanggil kembali dalam otak yang terus berubah.

Tetapi kondisi yang kita percayai bahwa semua pikiran disimpan di dalam kepala kita, gagasan bahwa ingatan dapat dipengaruhi dari luar otak sejak awal telah membingungkan.

Sheldrake menulis dalam artikelnya Eksperimen Menatap: "… ketika Anda membaca halaman ini, sebuah sinar redup memancar dari buku menuju mata Anda, membentuk sebuah gambar terbalik di retina. Gambar ini dideteksi oleh sel yang peka cahaya, menyebabkan rangsangan syaraf melewati syaraf optik, terbentuk menjadi sebuah pola aktivitas elektro-kimiawi kompleks di dalam otak."

Semua ini telah diselidiki secara detail oleh ahli neurologi. Tetapi kemudian muncul misteri. Anda sepertinya menyadari gambar dari ha-laman ini. Anda mengalami-nya di luar Anda, di depan muka Anda. Tetapi dari sudut pandang ilmu pengetahuan konvensional, pengalaman ini adalah ilusi. Dalam ke-nyataannya, gambar tersebut seharusnya berada di dalam diri Anda, bersama-sama de-ngan aktivitas mental Anda."

Ketika pencarian ingatan menantang pengertian tradisional ahli biologi, peneliti seperti Sheldrake percaya bahwa tempat sesungguhnya dari ingatan akan ditemukan di dimensi lain yang tidak dapat diobservasi.

Gagasan ini sesuai dengan Konsep utama pikiran dari Jung bernama "ketidak-sadaran kolektif" atau pemikiran dari aliran Tao yang memandang pikiran manusia dan jiwa berasal dari berbagai sumber di dalam dan di luar tubuh, termasuk pengaruh energi dari berbagai macam organ (kecuali otak).

Dari sudut pandang ini, otak tidak berfungsi sebagai fasilitas penyimpanan atau pikiran itu sendiri, tetapi syaraf fisik yang diperlukan untuk menghubungkan individu dengan medannya. (Leonardo Vintini/The Epoch Times/san, www.Erabaru.or.id)